Jakarta (ANTARA) - Ada satu indikator penting yang kerap luput dari perhatian dalam percakapan publik mengenai keadilan ekonomi yakni tentang apakah setiap orang, tanpa memandang latar belakang geografis, gender, pendidikan, dan tingkat pendapatan, memiliki akses yang setara terhadap layanan keuangan.
Inilah substansi dari inklusi keuangan. Sebuah agenda yang tak hanya menyentuh angka statistik, tetapi menembus jantung keadilan sosial dan pembangunan yang beradab.
Forum Indonesia International Financial Inclusion Summit (IFIS) 2025 yang baru saja digelar menjadi cermin dari kesadaran kolektif untuk menjadikan inklusi keuangan sebagai jalan menuju Indonesia yang setara.
Komitmen pemerintah, yang disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Ekonomi Digital Ali Murtopo Simbolon, menjadi sangat penting dalam konteks ini.
Ia menyatakan bahwa forum IFIS 2025 harus lebih dari sekadar ruang diskusi. Forum ini harus menjadi sarana akselerasi bagi inklusi keuangan, untuk membuka jalan bagi pemecahan berbagai masalah yang telah lama menghambat masyarakat Indonesia dalam mengakses layanan keuangan yang mereka butuhkan.
Salah satu elemen penting yang dibahas adalah pembangunan infrastruktur digital publik yang dapat mempercepat proses inklusi keuangan, khususnya bagi kelompok masyarakat yang paling rentan.
Digagas oleh Tony Blair Institute for Global Change dan Gates Foundation, dengan dukungan pemerintah Indonesia, forum ini menjadi ruang temu lintas sektor yang serius membedah tantangan, peluang, dan jalan ke depan bagi sistem keuangan yang inklusif.
Namun inklusi keuangan bukan sekadar soal punya rekening atau kartu ATM. Dalam esensinya, ia adalah hak dasar warga negara dalam sistem ekonomi modern.
Sebab tanpa akses ke layanan keuangan formal, rekening tabungan, asuransi, kredit, investasi, seseorang akan lebih rapuh menghadapi krisis, lebih sulit mengembangkan usaha, dan lebih rentan ditarik mundur dalam lingkaran kemiskinan yang menahun.
Inilah mengapa inklusi keuangan bukan hanya urusan bank dan regulator, melainkan urusan keadilan.
Peningkatan angka inklusi keuangan nasional yang kini mencapai 76,3 persen untuk kepemilikan rekening dan 88,7 persen untuk pemanfaatan layanan keuangan formal patut diapresiasi.
Perspektif baru
Tapi lebih dari itu, angka tersebut perlu dibaca dengan jernih, siapa yang belum terjangkau? Di wilayah mana kesenjangan masih lebar? Dan lebih jauh, apakah akses yang tersedia telah benar-benar menjawab kebutuhan dan kemampuan kelompok yang dilayani?
IFIS 2025 memberi ruang untuk pertanyaan-pertanyaan ini. Global Senior Director for Government Innovation & AI dari Tony Blair Institute for Global Change, Barbara Ubaldi, menyampaikan sebuah perspektif yang sangat relevan. Ia menggarisbawahi bahwa akses finansial adalah pelindung sosial di saat krisis.
Pandemi COVID-19 membuktikan, mereka yang tak punya dana darurat atau akses kredit mikro terpaksa menjual aset produktif hanya untuk bertahan hidup.
Maka, inklusi keuangan yang tangguh harus terintegrasi dengan perlindungan sosial dan kesiapsiagaan terhadap guncangan ekonomi.
Di sinilah pentingnya perspektif baru, inklusi keuangan bukan semata bagian dari sistem ekonomi, tetapi bagian dari sistem ketahanan nasional.
Strategi digitalisasi juga menjadi pilar utama dalam forum ini. Pemanfaatan infrastruktur digital publik bukan hanya solusi efisiensi, tapi juga sarana demokratisasi akses.
Namun, digitalisasi yang terburu-buru tanpa kesadaran inklusif justru bisa memperlebar ketimpangan.
Maka, inovasi digital harus berpijak pada realitas masyarakat, keterjangkauan gawai, literasi digital, dan bahasa yang dipakai dalam aplikasi keuangan.
Inklusi digital yang sejati tidak hanya menyediakan kanal digital, tapi memastikan tidak ada yang tertinggal dalam pemanfaatannya.
Menariknya, IFIS 2025 juga menempatkan pemberdayaan perempuan sebagai fokus pembahasan. Ini langkah penting yang perlu terus dikawal.
Perempuan, terutama di desa dan kawasan tertinggal, kerap berada di garis depan pengelolaan ekonomi rumah tangga namun berada di garis belakang dalam akses keuangan.
Padahal, ketika perempuan diberi akses terhadap kredit, asuransi, dan instrumen investasi, dampaknya berlipat ganda, bukan hanya memperkuat ketahanan ekonomi rumah tangga, tetapi juga memutus rantai kemiskinan lintas generasi.
Lebih dari itu, keuangan inklusif juga harus dibarengi dengan literasi yang mencerahkan. Presiden Prabowo dalam berbagai kesempatan menekankan pentingnya pemahaman masyarakat terhadap risiko investasi dan penggunaan akun keuangan secara bijak.
Bangsa ini tak bisa bicara inklusi dalam arti sesungguhnya jika masyarakat diarahkan pada akses tanpa pemahaman, sehingga mudah terjebak dalam pinjaman daring ilegal, skema investasi palsu, atau perilaku konsumtif yang tidak sehat.
Akselerasi inklusi
Peluncuran Indeks Akses Keuangan Daerah (IKAD) dalam forum ini menjadi langkah yang strategis untuk menjembatani visi pusat dan dinamika daerah.
Dengan adanya IKAD, peran Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) diharapkan bisa lebih presisi dalam membaca kebutuhan dan hambatan lokal.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menyampaikan peran 552 TPAKD yang telah terbentuk di seluruh provinsi dan kabupaten/ kota di Indonesia merupakan salah satu kunci menuju ASTA CITA dan Indonesia Emas 2045.
“Oleh karena itu, dengan semangat kolaborasi dan sinergi seluruh Kementerian/ Lembaga, IKAD dihadirkan sebagai instrumen strategis untuk penyelarasan target pusat dan daerah (nasional hingga tingkat kabupaten/kota) serta menjadi kunci bagi Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah dalam mengakselerasi inklusi keuangan secara sinergis di seluruh wilayah.”
Ini krusial, karena inklusi sejati menuntut pendekatan desentralistik, peka pada konteks, menghormati kearifan lokal, dan menghindari pendekatan seragam untuk semua wilayah.
Perspektif baru yang perlu dibangun bersama adalah melihat inklusi keuangan sebagai jembatan peradaban.
Ia bukan sekadar alat transaksi, tetapi wahana membangun martabat. Dalam sistem ekonomi yang manusiawi, akses keuangan adalah simbol pengakuan bahwa setiap warga negara punya hak untuk merencanakan masa depan, bukan sekadar bertahan dari hari ke hari.
Maka ketika negara menginvestasikan energi pada inklusi keuangan, sejatinya ia sedang menata ulang kontrak sosial yang lebih adil antara negara dan warganya.
IFIS 2025 bukanlah perayaan keberhasilan, melainkan pengingat akan besarnya pekerjaan rumah yang tersisa.
Kesenjangan digital, bias gender, literasi keuangan yang masih rendah, dan dominasi sistem keuangan yang masih terlalu berorientasi pada kota besar harus menjadi agenda kerja bersama.
Jalan menuju Indonesia Emas 2045 harus ditapaki bukan hanya dengan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dengan pemerataan akses, keadilan layanan, dan pelibatan semua warga dalam sistem ekonomi yang inklusif.
Tantangan ke depan adalah menghindari jebakan eksklusivitas baru dalam sistem yang katanya inklusif.
Sebab inklusi yang hanya mencakup angka, tanpa makna, hanya akan membungkus ketimpangan dalam statistik yang menipu. Semua perlu melampaui logika administratif dan bergerak menuju logika keberpihakan.
Inklusi keuangan, pada akhirnya, adalah cermin sejauh mana kita bersedia berbagi kekuasaan ekonomi dengan mereka yang paling sering dikesampingkan.
IFIS 2025 telah membuka jendela bagi diskusi ini. Kini saatnya membuka pintu dan melangkah bersama. Tidak ada pembangunan yang adil tanpa keuangan yang inklusif.
Copyright © ANTARA 2025