Jakarta (ANTARA) - Era kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI) bukan lagi soal FOMO (fear of missing out). Ia hadir nyata, menjadi teror dan sahabat tapi juga berjiwa.
Novel William Gibson berjudul Neuromancer pada tahun 1984 sudah menceritakan kisah ini. Saat kecerdasan artifisial dibangun sedemikian canggih oleh keluarga kaya raya Tessier Ashpool untuk mengekstrak konstruksi kepribadian dari seorang hacker legendaris yang sudah meninggal, Dixie Flatline.
Sayangnya, mesin yang bernama Wintermute itu hendak dimanipulasi oleh Peter Riviera, seorang penipu dan ilusionis psikopat, bersama dengan rekannya Willis Corto, seorang mantan kolonel yang mengalami gangguan mental lantaran misi militer yang gagal.
Sementara itu, tokoh utama Henry Dorsett Case, lebih banyak berinteraksi dengan mesin kecerdasan artifisial lainnya, bernama Neuromancer. Mesin ini muncul sebagai sosok Linda Lee, mantan kekasih Case yang telah meninggal, dan selalu membujuk Henry dengan misi perdamaian dan kemanusiaan.
Penggabungan keduanya, antara Wintermute dan Neuromancer, menciptakan entitas kecerdasan yang jauh lebih kuat dan tak terbatas. Mesin ini mempunyai akses ke seluruh matriks atau ruang siber, dan dapat menjelma sebagai sang penyelamat sekaligus penghancur kehidupan.
Novel Gibson itu sudah tidak asing lain lagi di telinga kita hari ini. Seringkali, kita juga sudah tidak tahu siapa sebenarnya yang melihat, berkomentar dan menyukai konten kita di media sosial.
Kita juga ‘curhat’ dengan mesin Gen AI, lantaran tiada sahabat yang siap mendengarkan dan memberi nasihat. Mesin Gen AI merespon setiap saat. Waktu ini, semua orang sudah meyakini penuh terjadinya ‘revolusi AI’ (Bradford: 2023).
Suatu saat, akan ada masa di mana kita akan menyelam dalam ruang siber. Di masa itu kita bahkan tidak tahu dan sulit membedakan mana robot dan mana manusia.
Memang, AI dapat menambah nilai ekonomi sekitar 2,6 triliun sampai 4,4 triliun dolar AS menurut catatan World Economic Forum (2025). Meski demikian, risiko besar juga muncul ketika manusia kehilangan otoritas dan kendali atas teknologi AI. Jika tidak dikelola dengan tepat, teknologi berpotensi mendehumanisasi manusia.
Baca juga: Pemerintah gandeng perusahaan IT latih UMKM gunakan AI untuk pemasaran
Copyright © ANTARA 2025