Mencari jalan murah menuju Timur Nusantara

2 weeks ago 8

Mataram (ANTARA) - Harga tiket pesawat yang mahal di Indonesia masih menjadi persoalan berulang dan terus memunculkan gelombang keluhan dari berbagai daerah.

Di wilayah timur, seperti Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT), isu itu memiliki dimensi lebih kompleks karena pariwisata menjadi urat nadi perekonomian.

Ketika biaya perjalanan udara melambung, denyut wisata melemah, UMKM merosot, dan rantai ekonomi yang selama ini hidup dari pergerakan manusia ikut tersendat.

Kondisi itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan, pada periode pemulihan pascagempa dan pascapandemi, harga tiket pesawat sempat menembus batas psikologis yang membuat banyak wisatawan menahan diri.

Dalam rentang 2019 hingga 2024, suara keberatan muncul terus-menerus dari pelaku pariwisata, asosiasi perjalanan, hingga pemerintah daerah.

Harga tiket rute Jakarta-Lombok pernah mencapai dua hingga empat juta rupiah pulang pergi, sementara rute Bali-Lombok melampaui satu juta rupiah sekali jalan.

Kenaikan bagasi berbayar menambah beban, mengurangi minat berbelanja, dan menurunkan daya saing daerah.

Di tengah dinamika seperti itu, kesepakatan Gubernur Bali, NTB, dan NTT untuk memperjuangkan tiket pesawat murah menjadi langkah strategis.

Kolaborasi tiga provinsi ini mengangkat kembali urgensi konektivitas sebagai fondasi pengembangan pariwisata dan ekonomi kawasan timur Indonesia, terutama karena kawasan itu saling terhubung oleh sejarah Sunda Kecil yang dihidupkan kembali dalam bentuk kerja sama regional.

Langkah bersama ini merupakan momentum untuk menyusun ulang strategi konektivitas udara yang lebih berkeadilan bagi masyarakat dan lebih kompetitif bagi wisatawan.

Konektivitas

Wilayah Bali, NTB, dan NTT berada di lintasan wisata internasional, sekaligus pintu gerbang bagi wisata Nusantara. Namun pergerakan orang sangat bergantung pada akses udara. Ketika harga tiket naik, efeknya langsung terasa di sektor paling strategis di tiga provinsi itu.

Di NTB, wisatawan turun drastis ketika harga tiket naik, baik setelah gempa 2018 maupun setelah pandemi COVID-19.

Data Badan Promosi Pariwisata Daerah menunjukkan bahwa tiket mahal mempengaruhi penjualan paket wisata, hunian hotel, transaksi UMKM, hingga pergerakan ekonomi di sentra oleh-oleh.

Pengusaha perjalanan, bahkan sempat gulung tikar akibat tingginya biaya penerbangan dan bagasi berbayar. Industri yang masih berupaya bangkit kembali dari bencana harus menghadapi kondisi pasar yang makin berat.

Situasi serupa terjadi di NTT. Sejumlah objek wisata, seperti Labuan Bajo, Sumba, atau Kupang mengalami ketergantungan tinggi pada penerbangan karena karakter kepulauan membuat moda transportasi alternatif terbatas.

Biaya tiket yang tinggi mengurangi mobilitas masyarakat dan menekan minat wisatawan, meski daerah-daerah itu sedang berkembang sebagai ikon pariwisata premium.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |