Memutus akar persoalan sosial di NTB

3 weeks ago 10

Mataram (ANTARA) - Laju pertumbuhan ekonomi yang positif ditopang oleh berbagai lapangan usaha belum berjalan linear dengan peningkatan kesejahteraan sosial yang dirasakan masyarakat di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Kasus persoalan sosial yang menumpuk selalu menjadi pekerjaan rumah setiap tahun. Pada 2024, angka perkawinan anak di Nusa Tenggara Barat mencapai 14,96 persen dan menduduki posisi pertama secara nasional, dengan kasus pernikahan anak usia dini paling tinggi.

Tren perkawinan anak muncul bukan baru-baru ini, melainkan sudah berlangsung sejak lama. Dinas Sosial NTB mencatat angka perkawinan anak sebesar 16,02 persen pada 2017, kemudian mencapai puncak tertinggi 17,32 persen pada 2023.

Kasus pernikahan anak usia dini menciptakan banyak persoalan sosial yang pelik, dari mulai kasus bayi tumbuh kerdil atau tengkes, kekerasan terhadap perempuan, hingga kemiskinan ekstrem.

Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2024, jumlah bayi tumbuh kerdil sebanyak 153.627 orang yang menjadikan Nusa Tenggara Barat menempati posisi kedelapan secara nasional.

Kepala Dinas Sosial NTB Nunung Triningsih mengatakan pernikahan dini menciptakan persoalan sosial berlapis yang berdampak terhadap pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga struktur sosial di masyarakat.

Ketika anak-anak yang masih usia belia tersebut menikah, maka mayoritas dari mereka justru putus sekolah, sehingga mempersempit peluang bekerja pada sektor formal, akibat tingkat pendidikan yang rendah.

Kondisi itu tidak hanya menciptakan sumber daya manusia yang kurang berkualitas, namun juga meningkatkan kemiskinan yang diwariskan antargenerasi.

"Banyak sekali disampaikan bahwa perkawinan anak di NTB tinggi karena permasalahan adat. Padahal, sebenarnya tidak seperti itu," ucap Nunung, dalam pertemuan multipihak yang membahas topik kesejahteraan sosial di Kantor PKK NTB, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada 18 November 2025.

Rantai kemiskinan yang membelit masyarakat adalah pemicu tingginya kasus perkawinan anak. Orang tua kadang berpikir bahwa menikahkan anak sebagai jalan pintas untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.

Faktor pola asuh, di mana banyak anak yang dititipkan kepada nenek atau bibi, sementara orang tua biologis bekerja sebagai buruh migran di luar negeri juga turut menyebabkan tingginya kasus perkawinan anak.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |