Memperkuat kerja sama strategis Indonesia-Turki

3 hours ago 1

Jakarta (ANTARA) - Tahun ini menjadi tahun penting bagi hubungan Indonesia-Turki. Sebab, persahabatan dua negara yang terbangun sejak tahun 1950 itu telah memasuki tahun ke-75.

Telah banyak peristiwa yang mewarnai perjalanan hubungan dua negara. Ada satu hal yang istimewa dalam perayaan hubungan dua negara tahun ini, yaitu kunjungan Presiden Recep Tayyip Erdogan ke Jakarta pada pertengahan Februari 2025. Rencana kunjungan presiden Turki disampaikan dalam pertemuan resmi Partai AKP di Ankara, Turki, baru-baru ini (Anadolu Ajansı, 05/02).

Jika melihat jejak sejarah hubungan dua bangsa, maka tentu saja kita tidak bisa menegasikan relasi yang telah terbangun jauh sebelum Indonesia merdeka tahun 1945.

Sebelum memasuki fase modern, Indonesia-Turki telah terhubung dalam spektrum yang berbeda yaitu dalam bentuk kontak diplomatik antara Kesultanan Aceh dan Kesultanan Turki Utsmani pada abad 16, ketika Portugis tengah melakukan penetrasi di Selat Malaka (Ismail Hakkı Kadı, 2021). Begitu juga dengan Pangeran Diponegoro yang menganggap Kesultanan Turki sebagai inspirasi dalam membangun kekuatan militernya dalam Perang Jawa (Peter Carey, 2023).

Jejak kerja sama yang terbangun di masa lalu lantas menjadi pijakan bagi para pemimpin dua negara untuk terus merawat hubungan diplomatik.

Untuk saat ini, Turki di bawah kepemimpinan Presiden Erdogan mencoba untuk mereformulasi kebijakan luar negeri yang berorientasi pada penguatan hubungan dengan semua pihak yang selama ini terhubung dalam payung Ottomanisme. Doktrin politik luar negeri Erdogan sejak pertama kali menduduki posisi Perdana Menteri adalah ‘’’zero problems with neighbors’’, yang artinya Turki yang sebelumnya cenderung ke Barat, berubah haluan untuk merangkul semua pihak.

Sementara Indonesia, selama ini tetap berpegang pada doktrin politik luar negeri ‘’bebas aktif’’ yang memberi ruang bagi Indonesia untuk netral dalam bersikap dan memberi keleluasaan untuk bekerja sama dengan berbagai pihak.

Pada periode Presiden Prabowo Subianto, Indonesia berusaha untuk tetap memelihara hubungan baik dengan semua kekuatan besar lintas kawasan. Kebijakan ini tentu saja menjadi cerminan prinsip yang selama ini dipegang oleh para diplomat Indonesia dalam menjalankan tugasnya, yakni millions friends zero enemy (seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak).

Tantangan geopolitik

Hari-hari ini dunia memang tengah mengalami guncangan, ditandai dengan perang yang melibatkan Rusia-Ukraina, Israel-Hamas, gejolak di Laut China Selatan, dan beberapa titik panas yang selama ini menjadi pemicu instabilitas kawasan.

Baik Indonesia maupun Turki, adalah negara yang terdampak dari situasi krisis tersebut. Presiden Prabowo, bahkan secara terbuka menyampaikan perhatiannya terkait ambivalensi negara-negara Barat yang cenderung mengabaikan norma internasional dalam forum D-8 dan Shangri La Forum. Begitu juga dengan Presiden Erdogan yang kerap kali mengkritik Dewan Keamanan PBB yang dianggap tidak mampu mencegah eskalasi di beberapa zona konflik.

Pilihan posisi Presiden Indonesia dan Presiden Turki menunjukkan bahwa dua negara memiliki posisi geopolitik yang mirip dalam merespons dinamika yang berkembang. Sehingga posisi yang demikian membutuhkan aliansi yang luas dengan negara-negara lain, terutama negara Muslim dan Global South, yang kerap menjadi korban dari ketidakadilan global. Indonesia dan Turki bisa mengambil peran sebagai jembatan aspirasi komunitas global yang terabaikan.

Kerja sama

Selanjutnya, dalam konteks yang lebih spesifik, Indonesia dan Turki memiliki modal untuk terus bersinergi, tercermin dari kerja sama yang telah dibangun. Pertama, Indonesia dan Turki merupakan dua dari sedikit negara Muslim yang menjadi anggota G-20, sebuah kelompok yang berisi negara-negara dengan postur ekonomi terbesar di dunia. Keberadaan Indonesia dan Turki dalam kelompok ini sudah pasti menjadi istimewa karena memiliki potensi untuk terus tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang bisa menyampaikan aspirasi negara-negara berkembang.

Kedua, Indonesia dan Turki merupakan pelopor berdirinya organisasi Developing Eights (D-8), D-8 berdiri tidak lepas dari kiprah Perdana Menteri Turki Necmettin Erbakan dan Presiden Habibie. Ide pendirian organisasi D-8 muncul karena negara-negara Muslim yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam tidak terlalu efektif dalam urusan penguatan ekonomi, kendati potensinya sangat besar. Sehingga melalui D-8, negara-negara Muslim mampu berakselerasi untuk mencapai target-target pertumbuhan ekonomi. Keberadaan Indonesia dan Turki menjadi motor bagi keberlanjutan organisasi ini.

Ketiga, Indonesia dan Turki telah terlibat dalam kerja sama industri pertahanan. Kedua negara telah berhasil mengembangkan kendaraan tempur lapis baja yang diberi nama Tank Harimau dan Kaplan yang diproduksi oleh PT Pindad dan FNSS dari Turki.

Selain itu, Indonesia juga tengah mengupayakan untuk membeli sejumlah produk pertahanan asal Turki yang memiliki keunggulan dari sisi harga dan kualitas. Keunggulan riset Turki di bidang pertahanan menjadi nilai lebih yang bisa mengisi satu sama lain.

Keempat, sudut pandang masyarakat Indonesia menganggap Turki sebagai bagian dari komunitas Muslim yang memiliki karakteristik yang sama dengan Muslim di Indonesia. Keduanya merupakan gerbong besar Mazhab Sunni. Karakteristik yang moderat dan modern menjadi alasan mengapa belakangan terdapat tren peningkatan minat mahasiswa Indonesia untuk menempuh pendidikan di Turki. Bagi sebagian kalangan di Indonesia, Turki dianggap sebagai pilihan favorit untuk menempuh pendidikan tinggi dengan pertimbangan biaya yang relatif murah dan kualitas pendidikan yang kompetitif dengan kampus-kampus Eropa.

Perayaan hubungan diplomatik Indonesia-Turki sejatinya menjadi parameter bagi dua negara untuk melangkahkan kaki menjemput visi masa depan yang lebih baik, sekaligus mengisi kekurangan satu sama lain melalui kolaborasi dalam skala luas.

*) Dr Muhammad Syaroni Rofii adalah Ketua Alumni Turki Indonesia, dosen di Universitas Indonesia, doktor bidang hubungan internasional di Marmara University, Istanbul, dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia, dan penulis buku Islam di Langit Turki

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |