Jakarta (ANTARA) - Di tengah dinamika perubahan regulasi ibadah haji dan umrah, muncul pertanyaan yang sangat fundamental: apakah Undang-Undang No.14/2025 lahir melalui proses legislasi yang benar, termasuk didasarkan pada kajian akademik yang memadai?
Pertanyaan ini bukan sekadar sensasi atau spekulasi teknis, tapi menyentuh aspek paling esensial dari hukum, yaitu: legitimasi, rasionalitas kebijakan, dan hak warga negara untuk memperoleh kepastian hukum yang adil.
Sejumlah pengamat dan pelaku industri merasa adanya keraguan apakah UU 14/2025 sungguh-sungguh didasarkan pada naskah akademik, sebagaimana diwajibkan oleh UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Keraguan ini wajar. Sebab bila sebuah undang-undang disusun tanpa fondasi akademik yang kuat, maka undang-undang itu rentan terhadap kekacauan norma, ketidaktepatan kebijakan, bahkan inkonstitusionalitas.
Isu ini menjadi semakin relevan, ketika kita melihat betapa banyak kekosongan norma dalam UU 14/2025, khususnya pada bagian mengenai umrah mandiri. Istilah “umrah mandiri” diperkenalkan, tanpa definisi, tidak disertai mekanisme pendaftaran, tidak ada persyaratan layanan, dan bahkan negara menarik (mengecualikan) tanggung jawab perlindungan terhadap jamaah jalur mandiri.
Ruang kosong ini kemudian diisi hampir sepenuhnya oleh Permen Haji dan Umrah No.4/2025, yang bukan hanya menetapkan definisi dan syarat, tetapi juga mengatur secara komprehensif mekanisme pendaftaran digital, verifikasi, perlindungan, hingga kewajiban laporan.
Kondisi ini mengundang satu kesimpulan, yaitu: undang-undang tampak kurang dikerjakan, sedangkan peraturan menteri justru bekerja berlebihan. Dalam teori perundang-undangan, situasi seperti ini disebut legislative gap, sebuah kekosongan norma yang menunjukkan bahwa UU tidak memberikan kerangka operasional yang memadai.
Fakta bahwa permen harus (terpaksa atau dipaksakan) mengambil alih fungsi substantif UU secara berlebihan menandakan adanya cacat legislasi.
Pertanyaan berikutnya adalah: apakah cacat legislasi terkait naskah akademik dapat berujung pembatalan UU di Mahkamah Konstitusi? Jawabannya tegas: ya, dapat.
Undang-Undang 12/2011 (yang kemudian diperbarui lewat UU 13/2022) secara jelas mewajibkan bahwa setiap RUU harus disertai naskah akademik. Kewajiban ini bukan sekadar formalitas administratif. Naskah akademik adalah jaminan metodologis bahwa sebuah undang-undang lahir melalui proses rasional, berbasis bukti, dan mempertimbangkan dampak sosial-hukum secara komprehensif.
Tanpa dasar akademik, undang-undang berisiko disusun secara arbitrer dan melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































