Mematahkan rantai monopoli dan pembajakan film nasional

2 hours ago 3
Kita tidak bisa lagi membiarkan "pesta" ilegal dan ketidakadilan bisnis terus berlangsung. Intervensi struktural dan kebijakan korektif yang berani adalah kunci untuk membebaskan industri film nasional.

Jakarta (ANTARA) - Potensi ekonomi industri perfilman nasional kita saat ini terdistorsi secara masif.

Data dari Asosiasi Industri Perfilman menunjukkan adanya nilai investasi bioskop yang mencapai Rp14 triliun, dengan potensi pajak hingga ratusan miliar per tahun. Namun, di tengah janji angka-angka fantastis tersebut, pasar film tetap sangat timpang. Akses layar bioskop sangat terbatas, dengan rasio hanya 0,76 layar per 100 ribu penduduk, jauh di bawah negara ASEAN lain.

Keterbatasan fisik ini diperparah oleh kebocoran finansial yang luar biasa. Secara digital, industri ini mengalami kerugian Rp25-30 triliun akibat pembajakan, sebagaimana data Asosiasi Video Streaming Indonesia (AViSI) di Komisi VII DPR RI.

Angka-angka tersebut menunjuk pada dua akar masalah fundamental: perampasan digital yang merajalela dan monopoli bisnis yang terinstitusionalisasi.

Pembajakan kini telah bergeser dari format fisik ke platform daring masif seperti Telegram, Snack, dan TikTok, di mana pengguna ilegal melebihi pengguna legal hingga 2,29 kali. Di sisi distribusi, Production House (PH), terutama yang baru dan kecil, menghadapi tembok tebal.

Dalam rapat secara terbuka, dibahas integrasi kepemilikan PH, importir film, dan pengelola bioskop. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, menyebut dugaan praktik integrasi vertikal ini sebagai hal yang tidak sehat untuk industri.

Praktik di mana pemilik layar memprioritaskan film-filmnya sendiri membuat PH lain kesulitan mendapatkan slot tayang yang adil, memaksa mereka gagal tayang atau mundur jadwal. Inilah hasilnya: industri perfilman nasional kita, ibarat seorang atlet berbakat yang seharusnya menjadi pilar ekonomi kreatif, terbelenggu oleh dua rantai berat yaitu sistem distribusi yang tertutup dan “pendarahan” finansial konstan dari pembajakan.

Rapat Kerja Komisi VII DPR RI bersama Kemenekraf dan rencana pembentukan Panitia Kerja (Panja) harus dimaknai sebagai pengakuan resmi bahwa industri berada di titik genting.

Kita tidak bisa lagi membiarkan "pesta" ilegal dan ketidakadilan bisnis terus berlangsung. Intervensi struktural dan kebijakan korektif yang berani adalah kunci untuk membebaskan industri film nasional.

Baca juga: BPI sampaikan masalah keterbatasan bioskop ke DPR

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |