Jakarta (ANTARA) - Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sigit Puspito Wigati Jarot menyebutkan pemerintah perlu membuat standar khusus untuk memastikan penggelaran teknologi Fixed Wireless Access (FWA) di frekuensi 1,4 GHz bisa efisien menghadirkan konektivitas di Indonesia.
"Saya melihat 5G FWA 1.4 GHz ini sebagai solusi broadband, jangan ketarik ke mobile. Dan harus sadar perbedaannya tetap ada dengan Fiber Optik (FO) gitu. Karena FWA itu adalah (teknologi) in between gitu, antara mobile seluler dengan fiber (optik)," kata Sigit dalam acara bertajuk "Lelang Frekuensi Untuk Siapa?" di Jakarta Selatan, Senin.
Fixed Wirelss Access (FWA) adalah jaringan internet tetap nirkabel, layanan yang memungkinkan internet berkecepatan tinggi diakses di satu lokasi tetap tanpa membutuhkan akses kabel. Membuatnya bisa lebih terjangkau dalam segi biaya untuk penggelaran internet dibandingkan menggunakan teknologi fiber optik (FO).
Di Indonesia, FWA saat ini tengah diperhitungkan untuk diterapkan pada pelelangan frekuensi 1,4 GHz mendatang oleh Pemerintah dengan tujuan meningkatkan adopsi Fixed Broadband (jaringan internet tetap).
Baca juga: Mastel komitmen majukan teknologi digital di usia ke-31 tahun
Baca juga: Kemkomdigi buat terobosan broadband wireless access usai pandemi
Salah satu standar yang perlu diambil menurut Sigit adalah pemerintah harus menetapkan bahwa frekuensi ini dikhususkan untuk layanan 5G.
"Harusnya 5G. Kalau misalnya dia nanti boleh 5G, boleh 4G, itu justru yang akan terdampak adalah seluler sebetulnya," kata Sigit.
FWA pada frekuensi 1,4 GHz sebenarnya bisa digunakan untuk menghadirkan konektivitas 4G maupun 5G, namun Sigit menilai lebih tepat FWA di 1,4 GHz dikhususkan untuk menggelar 5G karena cakupan 4G saat ini sudah tersedia banyak oleh layanan mobile broadband atau seluler.
Batasan lainnya, yang perlu dibuat oleh pemerintah agar frekuensi 1,4 GHz bisa optimal adalah memastikan penyelenggara internet mampu memberikan layanan minimal berkecepatan 100 mbps.
Hal ini penting karena menjadi poin lebih yang membuatnya unggul dibandingkan layanan mobile broadband yang saat ini di Indonesia rata-ratanya masih di bawah 100 mbps.
Hal ini juga dapat dilihat dari hasil survei Ookla melalui Speedtest Global Index pada Desember 2024 yang menunjukkan kecepatan rata-rata internet mobile di Indonesia baru mencapai 28,80 mbps.
Baca juga: Mastel komitmen jadi garda terdepan akselerasi telematika di Indonesia
Baca juga: Surge dan OREX SAI teken MoU hadirkan layanan 5G terjangkau
"Kalau misalnya dia bisa dijaga dan diharuskan 100 mbps, seluler pasti tidak akan terganggu," kata Sigit.
Selain untuk memenuhi kebutuhan internet yang makin tinggi mengikuti perkembangan teknologi, optimalisasi 1,4 GHz untuk menyelenggarakan konektivitas 5G berguna meningkatkan cakupan ketersediaan 5G di Indonesia dari Fixed Broadband yang baru mencapai 5 persen secara nasional.
Sigit juga merekomendasikan agar penyelenggaraan 5G di Indonesia bisa optimal, maka pemerintah harus segera mengeksekusi rencananya dalam pelelangan frekuensi.
Menurutnya manfaat dari konektivitas 5G baru benar-benar bisa terasa apabila layanannya juga bisa dirasakan oleh banyak orang, sebuah indikator bahwa ekosistem digitalnya sudah siap.
Maka dari itu agar dampak 5G bisa dirasakan sesegera, maka apabila Pemerintah berencana untuk menggelar lelang spektrum maka tidak perlu ditunda-tunda.
"Kalau ada upaya pemerintah menggelar spektrum, lelang spektrum, jangan dihambat. Karena itu awalnya, misalnya dihambat, kita ekosistem belum siap, ya ga akan selalu siap," ujarnya.
Baca juga: Adopsi teknologi FWA bisa jadi solusi tingkatkan kecepatan internet
Baca juga: Menkomdigi dorong MASTEL tingkatkan partisipasi masyarakat
Baca juga: Mastel: Infrastruktur perlu didorong untuk kembangkan talenta digital
Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025