Jakarta (ANTARA) - "Desa yang tumbuh adalah cermin dari bangsa yang berani bermimpi, berjuang, dan membangun masa depannya dengan tangan sendiri."
Kalimat itu mengandung makna bahwa desa-desa yang berkembang menunjukkan bahwa masyarakatnya memiliki semangat untuk bermimpi lebih tinggi, berjuang menghadapi tantangan, serta mandiri dalam membangun kehidupan yang lebih baik.
Dalam konteks Indonesia, pembangunan desa sejatinya semakin terperhatikan sejak dana desa pertama kali dikucurkan lebih dari satu dekade lalu. Mulai saat itu harapan besar digantungkan pada pembangunan desa sebagai fondasi utama kemajuan bangsa.
Dana desa memang diharapkan menjadi katalisator dalam mengentaskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan ekonomi, serta menghadirkan pembangunan yang lebih merata di seluruh pelosok negeri.
Namun, perjalanan menuju desa yang sejahtera bukanlah proses yang instan. Meski anggaran yang dialokasikan sangat besar, tantangan dalam pengelolaan dan implementasi kebijakan masih menjadi pekerjaan rumah yang harus terus diperbaiki.
Oleh karena itu, diperlukan inovasi, transparansi, dan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat desa agar dana yang digelontorkan benar-benar membawa manfaat nyata.
Salah satu langkah yang baru saja diinisiasi Pemerintahan Prabowo-Gibran adalah pendirian Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP), yang bertujuan untuk menyalurkan dana desa secara lebih efektif, termasuk mendukung program Makan Bergizi Gratis bagi masyarakat desa.
Ini bukan sekadar kebijakan biasa, tetapi sebuah visi besar untuk membangun desa dari dalam, dengan memberdayakan masyarakat secara langsung.
Apakah ini solusi terbaik? Jawabannya bergantung pada bagaimana kebijakan ini dijalankan. Jika dikelola dengan baik, koperasi desa dapat menjadi mesin penggerak ekonomi rakyat yang kuat.
Ia dapat menjadi wadah gotong royong yang menumbuhkan kemandirian, memperkuat ketahanan pangan, serta menciptakan lapangan kerja di desa.
Namun, di sisi lain, kebijakan ini harus diiringi dengan pengawasan yang ketat dan keterlibatan masyarakat agar tidak terjebak dalam pola lama yang kurang efektif.
Sejarah telah menunjukkan bahwa pengelolaan dana desa bukan tanpa tantangan. Sejak 2015, lebih dari Rp 610 triliun telah dikucurkan untuk desa, namun ada sebagian yang belum dikelola secara optimal.
Praktik penyimpangan, pelaporan fiktif, hingga proyek yang tidak tepat sasaran masih menjadi tantangan yang harus diselesaikan bersama.
Namun, bangsa ini tidak boleh terpaku pada masa lalu. Yang lebih penting adalah bagaimana kita belajar dari pengalaman ini dan mengambil langkah konkret untuk memperbaiki sistem yang ada.
Harapan bagi desa tetap besar. Setiap kebijakan harus dilihat sebagai peluang untuk membangun sesuatu yang lebih baik.
Dengan komitmen kuat dari pemerintah dan partisipasi aktif masyarakat, dana desa bisa menjadi instrumen yang benar-benar membawa perubahan.
Bukan hanya dalam bentuk infrastruktur fisik, tetapi juga dalam peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pemberdayaan ekonomi, dan penguatan kearifan lokal.
Mampu berdikari
Membangun desa bukan sekadar membangun jalan atau gedung. Desa yang maju adalah desa yang warganya berdaya, yang ekonominya tumbuh, dan yang mampu berdikari dalam memenuhi kebutuhannya sendiri.
Oleh karena itu, inisiatif seperti Kopdes MP harus dilihat sebagai peluang untuk memperkuat ekonomi kolektif, di mana masyarakat desa dapat mengelola sumber daya secara mandiri dan mendapatkan manfaat yang lebih besar.
Namun, kebijakan yang baik saja tidak cukup. Tanpa pengawasan dan akuntabilitas yang jelas, kebijakan sebesar apa pun bisa kehilangan arah.
Oleh sebab itu, transparansi dan partisipasi masyarakat menjadi elemen kunci dalam memastikan bahwa setiap dana yang dialokasikan benar-benar digunakan untuk kesejahteraan bersama.
Seluruh elemen masyarakat juga harus melihat desa bukan sebagai entitas yang pasif, tetapi sebagai bagian dari bangsa yang berkontribusi besar bagi Indonesia.
Dari desa, lahir para petani yang menyediakan pangan bagi negeri, para perajin yang menjaga warisan budaya, serta para inovator yang menciptakan solusi bagi tantangan lokal.
Jika desa kuat, Indonesia pun akan semakin maju. Oleh karena itu, pembangunan desa harus menjadi prioritas yang berkelanjutan.
Bangsa ini perlu membangun sistem yang tidak hanya mendistribusikan dana, tetapi juga memberdayakan masyarakat agar dapat mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal.
Bagaimana untuk dapat memastikan desa menjadi motor penggerak kemajuan? Jawabannya ada pada sinergi antara kebijakan yang progresif, sistem pengawasan yang transparan, serta partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan.
Ketika masyarakat desa merasa menjadi bagian dari proses ini, mereka akan memiliki rasa kepemilikan yang lebih besar, sehingga keberlanjutan program-program pembangunan dapat terjaga.
Desa bukan sekadar latar dari cerita pembangunan. Ia adalah aktor utama dalam perjalanan bangsa.
Jika semua mampu membangun desa dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berorientasi pada pemberdayaan, maka Indonesia sedang menanam benih bagi masa depan yang lebih kuat dan mandiri.
Masa depan desa bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab semua sebagai bagian dari bangsa ini.
Dengan semangat gotong royong, inovasi yang berkelanjutan, serta komitmen untuk terus belajar dan memperbaiki diri, desa-desa di Indonesia dapat menjadi pusat pertumbuhan yang membanggakan.
Masa depan desa adalah masa depan Indonesia. Ini saatnya bersama-sama mewujudkan harapan itu.
*) Penulis adalah Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Mathla'ul Anwar (BRIMA), Pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Banten, dan Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten.
Copyright © ANTARA 2025