Mahar dalam Islam: Syarat, jenis, dan apakah harus bernilai tinggi?

3 months ago 45

Jakarta (ANTARA) - Mahar merupakan salah satu kewajiban dalam pernikahan Islam yang sering menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat. Banyak orang masih bingung mengenai peran dan makna mahar dalam sebuah pernikahan, terutama dari segi syariat dan budaya yang berkembang.

Salah satu pertanyaan yang kerap muncul adalah apakah nilai mahar harus tinggi agar pernikahan dianggap sah atau terhormat. Untuk menjawab hal tersebut, penting memahami esensi mahar dalam ajaran Islam serta pandangan para ulama mengenai batas minimal dan makna simbolis dari pemberian tersebut.

Apa itu mahar

Mahar, dalam istilah agama Islam, adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai syarat sah pernikahan. Ketentuan ini merupakan bagian dari ajaran Islam yang menekankan keadilan dan penghargaan terhadap perempuan dalam sebuah ikatan pernikahan.

Secara etimologis, mahar berasal dari kata “al-mahr” atau “shadaaq”, yang menunjukkan adanya transfer harta dari pihak laki-laki sebagai tanda keseriusan dan komitmen dalam membina rumah tangga. Mahar bukan sekadar formalitas, melainkan simbol tanggung jawab dan niat baik seorang suami kepada istri.

Bentuk mahar pun sangat beragam. Tidak hanya berupa uang atau perhiasan, mahar bisa berupa tanah, benda berharga lain, bahkan jasa seperti menghafal Al Quran. Yang terpenting, mahar memiliki nilai dan manfaat bagi penerima, sesuai prinsip Islam yang mengedepankan kemaslahatan dan kesederhanaan.

Baca juga: Doa sebelum tidur dan bangun tidur dalam Islam

Hukum dan keabsahan mahar

Menurut ajaran Islam, memberikan mahar hukumnya wajib bagi calon suami, sesuai perintah dalam QS. An-Nisa ayat 4. Mahar tetap wajib meski nominal atau jenisnya tidak disebutkan saat akad nikah. Dengan diakhirinya proses akad, hak mahar hilang dan tidak dapat ditarik kembali, bahkan jika pernikahan dibatalkan.

Syarat dan bentuk mahar

Agar sah, mahar harus memenuhi syarat utama:

1. Benda yang memiliki nilai (sah diperdagangkan).

2. Berwujud batiniah yang murni, misalnya ilmu, hafalan Al Quran, jasa mengajarkan agama.

3. Tidak berasal dari hak orang lain secara paksa (ghasob).

4. Tidak haram, seperti alkohol, babi, atau benda haram lainnya.

Berdasarkan bentuk dan waktunya, mahar dibedakan menjadi:

• Mahar Musamma: disebutkan jumlah dan jenisnya saat akad.

• Mahar Mitsil: jumlahnya disesuaikan dengan mahar yang umum dalam keluarga atau lingkungan calon istri jika tidak disebutkan saat akad.

(Varian lainnya termasuk mahar sirr atau rahasia, dan mahar mu’ajjal atau tangguhan pembayaran.)

Baca juga: Macam-macam arisan dan hukumnya dalam Islam: Panduan untuk muslim

Apakah mahar harus mahal?

Tidak ada batasan nilai dalam syariat

Syariat Islam tidak menetapkan jumlah minimum atau maksimum untuk mahar, asalkan memenuhi unsur nilai dan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan fleksibilitas dalam penentuan mahar, selama tidak memberatkan dan tetap mencerminkan penghargaan terhadap pasangan.

Bahkan, dalam sebuah hadis disebutkan, "Carilah walaupun hanya cincin besi," yang menegaskan bahwa mahar sederhana pun sah selama disepakati. Ulama Syafi’i dan mayoritas ulama juga sepakat bahwa mahar dengan nilai rendah dibolehkan, selama ada kerelaan dari kedua belah pihak, karena inti dari mahar adalah simbol tanggung jawab dan niat baik, bukan soal mahal atau murahnya.

Dengan demikian, kesederhanaan mahar tidak berarti menafikan nilai spiritualnya. Mahar bukan ukuran status atau harga diri, melainkan tanda komitmen dan keikhlasan dalam membangun rumah tangga. Semoga artikel ini memberikan panduan bermanfaat bagi pasangan yang akan menikah.

Baca juga: Memahami makna hijrah: Perubahan diri & sosial dalam hidup keseharian

Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |