Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendorong penguatan koordinasi perihal mekanisme pemberian dana bantuan korban (DBK) dengan Menteri Keuangan sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2025 tentang DBK.
Wakil Ketua LPSK Sri Nurherwati dalam keterangan diterima di Jakarta, Selasa mengatakan penguatan koordinasi tersebut dilakukan untuk memastikan mekanisme penghimpunan dan pemberian dana bantuan korban berjalan dengan transparan, akuntabel, dan bersih.
“Pertemuan dengan Menkeu dimandatkan PP DBK tujuannya untuk pelaksanaan PP tersebut, berkaitan dengan penghimpunan dan pemberian. Diharapkan pertemuan dengan Menkeu ini memastikan pengelolaan dana himpunan sesuai dengan mekanisme keuangan,” ucap dia.
Menurut Nurherwati, koordinasi lintas lembaga penting agar sistem penghimpunan dan pemberian dana berjalan sesuai prinsip akuntabilitas publik.
Sinergi dengan Menkeu, tutur dia, dibutuhkan untuk memastikan penghimpunan pendanaan dan mekanisme pengawasan bersama lembaga terkait, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
PP DBK merupakan regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Aturan ini menegaskan komitmen negara untuk menjamin hak atas pemulihan bagi korban melalui mekanisme pendanaan yang terstruktur.
Melalui PP tersebut, negara dapat menghimpun dan menyalurkan dana bagi korban kekerasan seksual yang membutuhkan bantuan pemulihan fisik, psikologis, sosial, maupun ekonomi.
LPSK menegaskan DBK bukan sekadar urusan teknis anggaran, melainkan wujud konkret penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Hak atas pemulihan bagi korban kekerasan seksual dijamin dalam UU TPKS dan UUD NRI Tahun 1945.
Baca juga: LPSK dorong pengaturan "victim impact statement" dalam RKUHAP
Dari perspektif HAM, jelas Nurherwati, restitusi dan dana bantuan merupakan bentuk pengakuan negara atas penderitaan korban. Negara, menurut dia, tidak boleh memandang pemulihan korban sebagai belas kasihan, melainkan bagian dari keadilan substantif yang wajib dipenuhi.
Dalam hal ini, LPSK mempertimbangkan pengembangan model victim trust fund seperti di beberapa negara. Model ini memungkinkan negara menghimpun dana dari berbagai sumber yang sah untuk membantu korban mengakses pemulihan, tanpa menghapus tanggung jawab pelaku atas restitusi.
“Idealnya, dana ini seperti victim trust fund yang tujuannya membantu korban mengakses pemulihan. Namun, tanggung jawab pelaku tetap ada. Salah satu ide yang pernah muncul adalah dana talangan, yakni negara terlebih dahulu membayar restitusi, lalu itu dianggap sebagai utang pelaku kepada negara. Jadi, pelaku tetap punya kewajiban membayar kembali,” ujarnya.
Dari sisi kelembagaan, LPSK tengah mempersiapkan berbagai langkah untuk memastikan pelaksanaan DBK berjalan sesuai prinsip tata kelola yang baik.
Sri mengatakan lembaganya kini sedang menyesuaikan regulasi internal, melakukan kajian pembanding terhadap praktik di negara lain, serta menyiapkan mekanisme pengawasan yang komprehensif.
Setelah PP 29/2025 terbit, kata dia, pelaksanaan DBK menjadi keharusan yang tidak bisa ditunda. Oleh sebab itu, LPSK tengah menyiapkan seluruh perangkat mulai dari penyusunan prosedur operasional standar, petunjuk pelaksanaan dan teknis, hingga peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
“Langkah-langkah yang disiapkan, antara lain penyusunan berbagai regulasi dan pedoman umum. Sebenarnya, ada dua hal yang bisa dijalankan. Pertama, melalui APBN. Kita sudah terbiasa menyalurkan bantuan melalui APBN, sehingga untuk tahun anggaran 2026 kita sudah mulai menganggarkan dana bantuan korban,” ujarnya.
Baca juga: LPSK dan Komisi XIII bersinergi perkuat perlindungan saksi dan korban
Lebih lanjut Nurherwati tidak menampik ada kekhawatiran terkait integritas sumber dana. Mengingat, ada risiko dana yang dihimpun berasal dari sumber yang tidak bersih sehingga penting untuk membangun sistem verifikasi ketat terhadap asal usul pendanaan.
Dia menegaskan LPSK berkomitmen menjaga agar tidak ada dana yang bersumber dari hasil korupsi, pelanggaran HAM, atau tindak pidana lain. Prinsipnya, kata dia, lebih baik dana terbatas, asal bersih dan berintegritas.
Untuk memperkuat sistem pengawasan, LPSK mendorong partisipasi lembaga-lembaga seperti BPKP, Kementerian Keuangan, dan KPK dalam mengawasi mekanisme penghimpunan dan pemberian dana.
“Kita tidak akan menerima dana yang bersumber dari hasil korupsi atau pelanggaran HAM. Mungkin itu akan membatasi jumlah sumbangan, tapi tidak apa-apa. Justru agar dana ini tidak menjadi sarana pencucian uang, dan tetap terjaga integritasnya,” ujarnya.
Baca juga: Anggota DPR: Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban fokus pemulihan hak korban
Baca juga: LPSK tegaskan komitmen beri perlindungan kepada masyarakat
Baca juga: LPSK luncurkan TransforMind perkuat perlindungan hukum saksi-korban
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































