Jakarta (ANTARA) - Lembaga penyiaran publik lokal (LPPL) dan radio komunitas meminta revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memberikan dukungan regulasi untuk transformasi digital sekaligus memperkuat peran mereka dalam pelestarian budaya, pendidikan, dan informasi kebencanaan.
“Mayoritas anggota kami sudah melakukan siaran multi-platform, mulai dari radio, televisi, hingga streaming. Namun regulasi belum mendukung dan beban biaya masih sangat tinggi,” kata Ketua Dewan Pengarah Persatuan Radio TV Publik Daerah Seluruh Indonesia (Persada) Eddy Santoso dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Panja Penyiaran Komisi I DPR di Jakarta, Senin.
Eddy mencontohkan tujuh televisi lokal anggota Persada yang harus menyewa layanan multiplexing dengan biaya rata-rata Rp50 juta per tahun. Sementara sebagian besar LPPL radio belum berani bermigrasi ke sistem digital karena belum ada aturan yang jelas.
Dia menilai LPPL berperan menjaga identitas masyarakat daerah dengan melestarikan budaya, bahasa lokal, serta kearifan lokal melalui siaran sehingga pihaknya menyoroti urgensi dari revisi UU Penyiaran untuk segera dibuat.
"LPPL tidak hanya menyajikan hiburan yang sehat, tetapi juga ruang publik untuk menjaga nilai-nilai lokal agar tidak hilang di era globalisasi,” katanya.
Ketua Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) Adi Rumansyah menambahkan keterbatasan infrastruktur dan tingginya biaya internet membuat banyak radio komunitas sulit beradaptasi dengan era digital.
“Kalau beli kuota Rp100 ribu bisa habis dalam sehari, padahal radio komunitas tidak boleh menayangkan iklan komersial,” ujarnya.
Adi menegaskan meski terbatas, radio komunitas memiliki peran penting sebagai media partisipatif masyarakat dalam krisis bencana alam dan sebagai media pendidikan. Beberapa radio komunitas juga aktif menyiarkan program pemberdayaan perempuan, anak, dan lingkungan.
JRKI dan Persada kemudian menegaskan LPPL dan radio komunitas bukan sekadar media lokal, melainkan aset bangsa untuk demokratisasi informasi dan kedaulatan budaya.
Karena itu, keduanya mendorong revisi UU Penyiaran mengakomodasi penguatan fungsi publik media lokal melalui regulasi adaptif, dukungan infrastruktur, serta pendanaan afirmatif.
Sementara itu, Pimpinan Panja Penyiaran Komisi I DPR RI Dave Laksono menyatakan seluruh masukan dari Persada maupun JRKI akan dicatat dan dapat pula dilengkapi secara tertulis. Ia menekankan revisi UU Penyiaran sudah diajukan sejak 2012 dan kini menjadi krusial karena menyangkut redefinisi penyiaran di era digital.
“Era digital membuat batasan penyiaran semakin kabur karena banyak fungsi media sudah berpindah ke platform daring, tetapi tanpa pengawasan. Karena itu undang-undang ini harus memberi ruang sekaligus pengendalian agar tetap relevan dengan perkembangan zaman,” kata Dave.
Baca juga: JRKI: Radio komunitas dalam kondisi mati suri karena beban regulasi
Baca juga: Persada minta kesetaraan regulasi LPPL dengan penyiar publik nasional
Pewarta: Aria Ananda
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.