LBH Jakarta: Superioritas penyidikan hilangkan pemenuhan hak tersangka

1 week ago 6
Superioritas penyidikan akan berdampak pada terjadinya berbagai pelanggaran hak-hak tersangka dan potensi penyidikan yang tidak bertujuan untuk menegakkan kebenaran keadilan

Jakarta (ANTARA) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai wacana superioritas penyidikan dalam pembahasan Rancangan Undang - Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akan berdampak buruk terhadap pemenuhan hak tersangka.

"Superioritas penyidikan akan berdampak pada terjadinya berbagai pelanggaran hak-hak tersangka dan potensi penyidikan yang tidak bertujuan untuk menegakkan kebenaran keadilan,” kata Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana melalui keterangan tertulis dari Koalisi Masyarakat Sipil dan FORI Pasca Sarjana KSI X di Jakarta, Jumat.

Baca juga: Akademisi sebut 3 cara optimalisasi peran lembaga pengawasan Polri

Arif menekankan proses penegakan hukum yang termuat dalam revisi KUHAP harus memiliki independensi, profesional dan berintegritas. Untuk itu, menurutnya, penegakan hukum tidak boleh bertujuan untuk meningkatkan represivitas hegemoni kekuasaan.

“Harus ada kontrol yang ketat terhadap kewenangan penyidikan dan upaya paksa (termasuk penuntutan, pengadilan, pemasyarakatan). Bantuan hukum memiliki peran yang sangat signifikan,” ucapnya.

Melihat draf RUU KUHAP yang beredar, Arif menilai Kepolisian cenderung resisten dengan usulan pembatasan dan pengawasan kewenangan. Padahal, Polri hingga saat ini tak pernah lepas dari sorotan.

"Data yang dimiliki LBH Jakarta, pada rentang Januari hingga September 2023, Kompolnas telah menerima 1.150 saran dan keluhan dari masyarakat, diantaranya 1.098 mengenai pelayanan buruk Polri, kritik, aduan, serta protes dari masyarakat selalu muncul karena buruknya pelayanan perlakuan diskriminatif, hingga penyalahgunaan wewenang,” ucap Arif.

Baca juga: Kompolnas apresiasi kinerja Polri soal penanganan keamanan nasional

Kemudian hasil penelitian LBH Jakarta dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH-UI menemukan ada 1.144.108 perkara yang diterima pada tahun 2012-2014. Dari jumlah tersebut hanya 645.780 perkara yang diproses.

“Dari jumlah itu sebanyak 386.766 dilengkapi surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dan diterima kejaksaan dalam lingkup pidana umum. Sedangkan sisanya, 255.618 perkara masih mengendap dan 44.273 perkara diduga hilang begitu saja,” jelasnya.

Sementara itu pengamat Kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto menilai penambahan kewenangan penyidik kepolisian seperti beredar dalam draf RUU KUHAP berpotensi memberikan kewenangan absolut.

Baca juga: Polri ajak masyarakat ikut berperan aktif awasi kinerja polisi

"Sejumlah pasal dalam draf RUU KUHAP menjadi sorotan Bambang, salah satunya Pasal 16 (1), dimana penyidikan memungkinkan untuk dilakukan tanpa harus terlebih dahulu memberitahu penuntut umum, ini menghilangkan prinsip check and balance dalam sistem peradilan pidana,” ucapnya.

Bambang juga menyebutkan selama ini nyaris terkait penyidikan itu kontrol pengawasannya tidak ada, jadi revisi KUHAP ini harus memberikan ruang untuk kontrol dan pengawasan.

"Siapa yang mengawasi siapa itu penting. Entah nanti dalam KUHAP pengawasannya dalam bentuk koordinasi, dominus litis pada kejaksaan atau hakim komisioner, itu penting. Kalau tidak kesewenang-wenangan yang selama ini terjadi oleh penyidik kepolisian akan terus terjadi,” katanya.

Pewarta: Ilham Kausar
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |