Latensi Coretax dan misi meningkatkan tax ratio

8 hours ago 6
Latensi sistem Coretax bukan sekadar gangguan teknis, tetapi merupakan indikator penting dari kesiapan institusi perpajakan dalam menghadapi era digital.

Jakarta (ANTARA) - Peningkatan tax ratio merupakan agenda strategis nasional dalam memperkuat kemandirian fiskal dan pembiayaan pembangunan jangka panjang.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah menjalankan berbagai upaya reformasi sistemik, salah satunya dengan implementasi Coretax Administration System (Coretax), sebagai bagian dari modernisasi administrasi perpajakan. Sistem ini dirancang untuk menyederhanakan layanan, meningkatkan kepatuhan, dan menutup celah kebocoran penerimaan negara.

Namun, seiring penerapannya secara bertahap sejak 2022, Coretax menghadapi kendala teknis serius berupa latensi yang berdampak pada efektivitas pelayanan, khususnya dalam masa pelaporan pajak.

Isu ini menjadi perhatian utama dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada 7 Mei. Parlemen menyoroti bahwa latensi Coretax telah menimbulkan keresahan wajib pajak dan bisa menjadi hambatan serius bagi target peningkatan tax ratio. DJP mengakui kendala tersebut dan menyampaikan komitmen konkret untuk perbaikan sebelum Juli 2025.

Kementerian Keuangan melalui DJP telah melakukan berbagai Upaya untuk mengatasi tantangan latensi Coretax dan menjaga target tax ratio Pemerintah sebesar 10,4 persen terhadap PDB pada tahun 2025.

Walaupun target ini mempertahankan tingkat tax ratio yang telah dicapai pada 2024, namun dengan harapan bahwa implementasi penuh sistem digital Coretax dan upaya ekstensifikasi pajak, hal itu akan menopang stabilitas penerimaan pajak dengan memperbaiki kepatuhan, memperluas basis pajak, dan meningkatkan efisiensi administrasi.

Baca juga: Sri Mulyani sebut Coretax dukung perbaikan penerimaan pajak

Coretax dan modernisasi perpajakan

Coretax adalah sistem administrasi perpajakan generasi baru yang dirancang untuk menggantikan sistem warisan DJP yang selama ini tersebar dan tidak terintegrasi. Tujuan utama dari pengembangan Coretax adalah menciptakan satu basis data nasional yang memungkinkan layanan perpajakan dilakukan secara digital, terintegrasi, dan real-time.

Sistem ini juga diharapkan menjadi tulang punggung dalam meningkatkan kepatuhan sukarela, memudahkan pelaporan, dan mempercepat proses audit serta penagihan. Dengan optimalnya sistem ini, pemerintah menargetkan tax ratio Indonesia dapat naik secara bertahap dari kisaran 10,4 persen pada 2024 menjadi 12 persen dalam lima tahun ke depan.

Namun, realisasi tujuan tersebut tidak berjalan mulus. Di lapangan, sistem Coretax kerap mengalami latensi, terutama pada periode pelaporan SPT Tahunan dan bulanan. Wajib pajak melaporkan kesulitan akses, keterlambatan proses validasi, dan bahkan kegagalan sistem saat digunakan serentak.

Dalam rapat kerja, Komisi XI DPR RI menyampaikan sejumlah catatan kritis terhadap DJP. Anggota DPR menilai latensi sistem Coretax tidak hanya mengganggu kenyamanan pengguna, tetapi juga melemahkan kredibilitas pemerintah dalam reformasi digital. Sejumlah legislator menyampaikan bahwa keluhan dari pelaku usaha dan konsultan pajak semakin meningkat, terutama saat sistem gagal memproses SPT secara tepat waktu.

Komisi XI menekankan bahwa modernisasi digital seharusnya memberikan efisiensi, bukan menciptakan hambatan baru. Kegagalan sistem berdampak pada turunnya tingkat kepatuhan dan berpotensi merusak kepercayaan publik, yang menjadi kunci utama dalam membangun sistem perpajakan yang sehat dan berkelanjutan.

Menanggapi kritik tersebut, DJP mengakui masih adanya berbagai gangguan sistem yang belum tertangani optimal. Direktur Jenderal Pajak menjelaskan bahwa hambatan teknis ini sebagian besar disebabkan oleh ketidakseimbangan beban server dan lonjakan trafik di jam-jam sibuk, dan Integrasi yang belum sepenuhnya berhasil antara Coretax dan sistem lama (legacy), kurangnya kesiapan jaringan dan SDM di beberapa kantor wilayah.

DJP berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan tersebut sebelum akhir Juli 2025, sebagai batas waktu tahap stabilisasi sistem.

Beberapa langkah konkret yang akan dilakukan antara Mei - Juli 2025 meliputi: Upgrade infrastruktur TI Nasional DJP, termasuk peningkatan kapasitas server dan bandwidth; Optimalisasi Sistem Modular Coretax, agar mampu beroperasi secara parsial jika terjadi gangguan; Percepatan Integrasi Data antara Coretax dan sistem warisan, untuk menghindari konflik antarmodul; Penambahan tim teknis respons cepat di Kantor Pusat dan Kanwil untuk merespons gangguan real-time; Sosialisasi dan pelatihan daring kepada wajib pajak dan pegawai DJP tentang penggunaan fitur-fitur Coretax secara lebih efisien.

Baca juga: DJP sebut kinerja sistem Coretax makin stabil

Pembelajaran bagi Indonesia

Pengalaman negara-negara lain dalam membangun sistem administrasi pajak digital memberikan banyak pelajaran berharga bagi Indonesia, terutama dalam menghadapi tantangan yang muncul selama transisi.

Salah satu contoh yang paling relevan datang dari India. Negara dengan jumlah wajib pajak yang besar ini sempat mengalami kegagalan sistem saat meluncurkan Goods and Services Tax Network (GSTN). Pada masa pelaporan, sistem kerap lumpuh akibat tingginya beban trafik.

Menanggapi hal ini, otoritas pajak India tidak hanya memperkuat infrastruktur teknologinya, tetapi juga membangun sistem antrian digital dan satuan tugas pemantau sistem secara aktif. Pendekatan ini memungkinkan India menstabilkan sistem dan meningkatkan tingkat kepatuhan.

Sementara itu, Estonia sebagai negara kecil dengan pendekatan digital progresif telah menjadi simbol keberhasilan integrasi sistem pajak secara elektronik. Melalui sistem e-Tax, wajib pajak tidak perlu mengisi formulir kompleks, karena data secara otomatis ditarik dari lembaga negara lainnya. Keberhasilan ini diperoleh dari penerapan prinsip interoperabilitas dan efisiensi data serta desain sistem berbasis event-driven architecture.

Di Amerika Latin, Meksiko dan Cile berhasil menciptakan sistem e-invoicing real-time yang mewajibkan perusahaan menerbitkan faktur elektronik langsung tersambung ke otoritas pajak. Pemerintah menggandeng perusahaan pihak ketiga tersertifikasi, sehingga beban sistem pusat dapat dibagi. Model distribusi ini memungkinkan otoritas pajak memantau transaksi secara efisien dan menekan praktik penghindaran pajak.

Australia, yang mengalami krisis teknologi perpajakan pada 2016, menjadi contoh penting dalam penerapan strategi pemulihan. Setelah sistemnya gagal total, Australia menerapkan pendekatan peluncuran wilayah terbatas dan penyediaan saluran cadangan. Langkah ini tidak hanya meningkatkan keandalan sistem, tetapi juga mengembalikan kepercayaan publik terhadap proses digitalisasi.

Refleksi dari pembelajaran internasional dari negara-negara tersebut memperlihatkan bahwa sistem digital perpajakan memerlukan ketangguhan teknologi, desain bertahap, dan keterlibatan aktor eksternal untuk mendukung keberhasilan transisi.

Baca juga: Kemenkeu bantah Coretax jadi pemicu melambatnya serapan pajak

Rekomendasi strategis

Berkaca dari pengalaman internasional dan dinamika dalam negeri, sejumlah langkah strategis dapat diambil untuk memastikan Coretax berfungsi optimal.

Pertama, DJP perlu mengadopsi pendekatan bertahap dalam penerapan sistem. Modul-modul Coretax sebaiknya diuji terlebih dahulu di beberapa wilayah sebagai proyek percontohan sebelum diberlakukan secara nasional. Hal ini akan memudahkan evaluasi dini dan mengurangi risiko sistemik.

Kedua, perlu dibentuk pusat kendali pemantauan sistem nasional berbasis kecerdasan buatan yang mampu membaca pola trafik, mengidentifikasi anomali, dan memberikan peringatan dini atas potensi gangguan. Sistem monitoring yang andal akan membantu mencegah gangguan besar dengan penanganan proaktif.

Ketiga, diversifikasi kanal pelayanan dan pelaporan wajib dilakukan. Kanal alternatif seperti aplikasi mobile, chatbot, atau layanan khusus UMKM dapat digunakan untuk meringankan beban server utama. Dengan ini, pelayanan tetap berjalan saat satu kanal terganggu.

Keempat, pemerintah perlu menjalin kolaborasi dengan perusahaan teknologi nasional untuk membangun sistem berbasis microservices yang lebih fleksibel dan mudah diatur skalanya. Keterlibatan pihak eksternal akan mempercepat pengembangan teknologi dan menjamin keberlanjutan inovasi.

Kelima, pemberian insentif kepada wajib pajak yang menggunakan layanan digital juga penting untuk mendorong adopsi awal. Insentif ini bisa berupa kecepatan pelayanan, pengurangan beban administrasi, atau akses prioritas dalam pengembalian pajak.

Terakhir, audit teknologi independen secara berkala harus dilakukan untuk memastikan sistem Coretax berjalan sesuai standar dan tetap akuntabel. Audit ini dapat menjadi dasar bagi publik dan pembuat kebijakan untuk mengevaluasi efektivitas program modernisasi perpajakan.

Latensi sistem Coretax bukan sekadar gangguan teknis, tetapi merupakan indikator penting dari kesiapan institusi perpajakan dalam menghadapi era digital. Dalam konteks misi meningkatkan tax ratio, sistem yang lambat dan tidak responsif akan menjadi penghambat serius. Komitmen DJP untuk menyelesaikan persoalan ini sebelum Juli 2025 merupakan titik krusial yang harus diawasi dan diimplementasikan secara serius.

Pengalaman global menunjukkan bahwa keberhasilan sistem digital pajak terletak pada tahapan peluncuran yang hati-hati, dukungan teknologi adaptif, serta keterlibatan ekosistem digital yang luas. Jika langkah-langkah ini dijalankan secara konsisten, Indonesia tidak hanya dapat menstabilkan sistem Coretax, tetapi juga memanfaatkan teknologi sebagai motor penggerak pertumbuhan tax ratio yang berkelanjutan.

Pemerintah telah menargetkan pertumbuhan ekonomi (PDB riil) pada tahun 2025 sebesar 5,3 persen hingga 5,6 persen. Penetapan target ini juga mempertimbangkan faktor pemulihan ekonomi global, perbaikan konsumsi domestik, serta stabilitas inflasi dan investasi.

Dengan PDB yang tumbuh di atas 5 persen, basis perpajakan Indonesia secara nominal otomatis meningkat. Sehingga ini menjadi potensi bagi tax ratio untuk setidaknya dipertahankan atau meningkat termasuk diantaranya melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, serta modernisasi sistem inti administrasi perpajakan yang sedang dijalankan.

Baca juga: PCO tegaskan Coretax bertujuan mereformasi sistem perpajakan nasional

*) Dr M Lucky Akbar SSos MSi adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |