Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan empat dari 15 debitur kasus dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) masih dalam tahap penyelidikan.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan empat debitur tersebut masih dalam tahap penyelidikan, bukan penyidikan karena merupakan pelimpahan penanganan perkara dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Saya menyebut 11 debitur itu yang sudah sidik (tahap penyidikan, red), sementara OJK sedang lidik (tahap penyelidikan, red.). Akan tetapi, nanti sudah naik ke sidik juga,” ujar Asep saat dikonfirmasi ANTARA dari Jakarta, Jumat.
Sebelumnya, KPK mengatakan menerima limpahan penanganan perkara dari OJK pada 23 Juni 2025. Kemudian pada 2 Juli 2025, KPK mengumumkan jumlah debitur terkait kasus LPEI bertambah, yakni dari 11 menjadi 15.
Baca juga: KPK dalami perpanjangan fasilitas kredit yang diberikan LPEI
Sementara itu, KPK telah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, yakni masing-masing dua orang dari LPEI dan tiga orang dari pihak debitur PT Petro Energy.
Dua orang tersangka dari LPEI adalah Direktur Pelaksana I LPEI Dwi Wahyudi dan Direktur Pelaksana IV LPEI Arif Setiawan.
Tiga orang tersangka dari pihak debitur PT Petro Energy (PE), yakni Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal/Komisaris Utama PT PE Jimmy Masrin, Direktur Utama PT PE Newin Nugroho, dan Direktur Keuangan PT PE Susi Mira Dewi Sugiarta.
Selain PT PE, KPK saat ini sedang mengusut aliran dana kasus tersebut pada debitur lain seperti PT Sakti Mait Jaya Langit (SMJL) dan PT Mega Alam Sejahtera (MAS).
Baca juga: KPK jadwalkan pemanggilan ulang untuk pejabat Standard Chartered Bank
Baca juga: KPK panggil pejabat Standard Chartered Bank jadi saksi kasus LPEI
Baca juga: KPK sita mobil terkait kasus LPEI yang sedang dikuasai anggota DPR RI
Pewarta: Rio Feisal
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































