Jakarta (ANTARA) - Komisi III DPR meminta aparat penegak hukum untuk selalu berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dalam memenuhi hak-hak anak berhadapan dengan hukum (ABH), baik itu Polri, kejaksaan, maupun pengadilan.
Hal tersebut menjadi salah satu butir kesimpulan rapat dengar pendapat (RDP) terkait dengan dugaan kesalahan prosedur dalam pemeriksaan kasus empat orang anak di bawah umur yang ditangkap oleh Polres Tasikmalaya Kota.
"Kami berkomunikasi resmi dengan pihak Mahkamah Agung dengan tidak mengintervensi perkaranya, terkait pemenuhan hak-hak anak, kami mendorong pemenuhan hak-hak anak ini dipenuhi sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku," kata Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman yang memimpin jalannya rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.
Sebelumnya, Habiburokhman mencecar Kapolres Tasikmalaya Kota AKBP Moh Faruk Rozi terkait dugaan kesalahan prosedur yang dilakukan tim penyidik Polres Tasikmalaya Kota dengan tidak menyertakan orang tua ataupun kuasa hukum empat ABH saat pembuatan berita acara perkara (BAP) kasus dugaan pengeroyokan terhadap Muhamad Taufik dan Aji Gustiawan di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 17 November 2024.
"Orang tua mendampingi langsung, kami menghubungi orang tua pada saat mereka setelah diinterogasi," jawab Faruk.
Habiburokham lantas menegaskan kembali, "Jadi pada hari itu juga orang tua hadir mendampingi?"
"Siap, bapak," balas Faruk mengkonfirmasi.
Faruk juga menjelaskan bahwa keempat ABH tersebut sempat ditempatkan di ruang khusus tahanan anak yang berada di Polsek Tawang.
"ABH kami tempatkan di ruang khusus tahanan anak yang ada di Polsek Tawang karena memang di Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya kami tidak mempunyai ruang tahanan khusus anak," tuturnya.
Habirburokhman kemudian mempersilakan kepada orang tua salah satu ABH berinisial DW, Yulida, untuk memberikan konfirmasi atas pernyataan yang dilontarkan Faruk terkait adanya pendampingan orang tua saat pembuatan BAP.
"Enggak tidak sama sekali (mendampingi). Saya waktu itu ditelpon sama Ibu Kanit jam 23.00 malam lebih 15 menit, saya langsung ke Polres Tasikmalaya Kota. Saya waktu itu langsung ke ruangan penyidik terus habis dibilangi, 'Ini orang tua siapa? Silakan tunggu saja di lobi'," kata Yulida yang hadir langsung dalam rapat.
Dia menegaskan tidak mendampingi sang anak ketika pembuatan BAP pada 30 November 2024 malam, dan baru mendampingi saat berkas BAP harus ditandatangani ketika pagi harinya tanggal 1 Desember 2024.
"Didampingi waktu disuruh tanda tangan sudah jam 09.00 pagi itu tanggal 1 Desember, bukan waktu BAP, waktu diketik pengakuan anak saya, saya tidak pernah mendampingi anak saya. Sama yang lain juga sama pak, orang tua-orang tua lainnya juga sama (tidak mendampingi)," kata dia.
Selain tidak mendapatkan hak untuk memberikan pendampingan, Yulida mengaku juga menduga sang anak mendapat tindak kekerasan saat pemeriksaan dilakukan.
"Kusut banget mukanya waktu itu habis disiksa, Pak," ungkapnya.
Baca juga: Keberadaan LPKA perkuat perlindungan anak berhadapan dengan hukum
Baca juga: LPKA komitmen beri pembinaan bermakna anak berhadapan dengan hukum
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2025