Jakarta (ANTARA) - Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) menegaskan pentingnya kolaborasi antara media sosial dan media massa mainstream untuk membangun ekosistem informasi yang kredibel.
Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media (KPM) Kemkomdigi Fifi Aleyda Yahya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat menegaskan bahwa kecepatan informasi tidak seharusnya mengorbankan akurasi.
“Media sosial memberi kecepatan dan kedekatan, sedangkan media mainstream memberi kedalaman dan kredibilitas. Kalau dua kekuatan ini disatukan, kita bisa punya ekosistem informasi yang disukai sekaligus dipercaya,” ujar Fifi.
Ia pun menambahkan, pada masa semua orang dapat menjadi penyampai pesan, tanggung jawab etika dan akurasi semakin besar.
Baca juga: Kemkomdigi tangani 3.943 konten DFK pada 25 Agustus-21 Oktober 2025
“Masalahnya sekarang bukan siapa yang paling cepat menyebar, tapi siapa yang paling bisa dipercaya. Karena di era banjir informasi, yang paling berharga bukan klik, tapi kredibilitas,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi, Alexander Sabar mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah berkomitmen menjaga ruang digital tetap aman namun sekaligus tetap menghormati kebebasan berekspresi masyarakat.
“Pemerintah tidak ingin membungkam kebebasan. Kami menjaga keseimbangan antara ruang digital yang aman dengan hak-hak warga negara,” jelas Alexander.
Baca juga: Kasus Trans7 dinilai sebagai momentum perkuat peran media
Kemkomdigi, lanjut dia, saat ini menjalankan dua pendekatan besar dalam menjaga ruang digital, patroli aktif dan penanganan reaktif.
Patroli aktif dilakukan 24 jam untuk mendeteksi dan menindaklanjuti konten negatif melalui sistem moderasi konten nasional (SAMAN) dan kolaborasi dengan berbagai platform digital. Sementara itu, penanganan reaktif dilakukan melalui kanal aduan konten.id dan aduan instansi, di mana masyarakat dan lembaga pemerintah dapat melaporkan konten bermasalah.
Data terbaru Kemkomdigi mencatat bahwa sepanjang 25 Agustus hingga 21 Oktober 2025, pemerintah telah menangani 3.943 konten disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK) di berbagai platform digital, termasuk Facebook, YouTube, X (Twitter), TikTok, dan Telegram. Sementara itu, 1.674 isu hoaks telah diidentifikasi sepanjang satu tahun terakhir (Oktober 2024–Oktober 2025).
Baca juga: Badan Bahasa kritisi penggunaan Bahasa Indonesia di media online
“Tren ini menunjukkan bahwa disinformasi masih menjadi ancaman serius. Karena itu, upaya kolaboratif antara pemerintah, media, akademisi, dan masyarakat sipil menjadi sangat penting untuk memastikan ruang digital tetap sehat,” tutur Alexander.
Jurnalis senior Fenty Effendy, dan Wahyu Aji turut menambahkan. Fenty mengingatkan kembali nilai-nilai dasar jurnalisme yang berakar pada empati dan tanggung jawab sosial, sementara Wahyu Aji menunjukkan bahwa “berita baik pun bisa viral”, menandakan bahwa kredibilitas dan kebermanfaatan bukanlah hambatan untuk menarik perhatian publik.
Melalui kegiatan MediaConnect, Kemkomdigi berupaya memperkuat kolaborasi lintas sektor untuk memperbaiki ekosistem informasi nasional. Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang diskusi, tetapi juga sarana edukasi publik untuk melawan misinformasi dan memperkuat literasi digital.
Baca juga: Pentingnya pendidikan karakter di era media sosial
Baca juga: Jurnalis Vanuatu yakini berita positif soal RI kuatkan persahabatan
Pewarta: Sinta Ambarwati
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































