Khulu dan Rimeahili prosesi etnik Sentani menyambut paskah di Papua

2 hours ago 4

Jayapura (ANTARA) - Ratapan lirih terdengar dari dalam Gedung Gereja GKI Syalom Kampung Simporo-Bambrongko (SiBa), Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Suara itu menggetarkan hati setiap jemaat yang menghadiri ibadah Jumat Agung, pada 18 April 2025.

Di leher perempuan setengah baya itu tergantung kain stola. Sambil memegang selendang, bibirnya bergetar pelan, melagukan nada dalam bahasa Sentani yang penuh makna, kesedihan mendalam.

Dia adalah Mama Adelce Monim, seorang majelis jemaat yang sedang melantunkan ratapan adat Rimeahili, yang menggambarkan duka mendalam atas wafatnya seorang yang sangat dihormati.

Namun, kali ini bukan manusia biasa yang diratapi, tetapi ratapan itu dipersembahkan bagi Yesus Kristus, Sang Anak Allah, yang disalibkan untuk menebus dosa manusia.

Jemaat GKI Syalom SiBa menyatukan kepercayaan iman kristen dengan tradisi leluhur mereka, lewat dua prosesi adat yakni Khulu dan Rimeahili. Sebuah kontekstualisasi budaya yang mendalam pada perayaan paskah di Tanah Papua.

Jejak tradisi suku Sentani

Di kalangan masyarakat adat suku Sentani, Khulu atau dalam pengucapan lain disebut Khulkha, merupakan prosesi penghormatan terakhir bagi seorang yang wafat dan memiliki kedudukan terhormat dalam komunitas, seperti pemimpin adat (Ondoafi), kepala suku juga pendamping pemimpin adat (Akhona).

Prosesi ini melibatkan penyerahan harta adat bernilai tinggi seperti kapak batu (tomako batu) dan manik-manik, yang menjadi simbol duka dan penghargaan keluarga terhadap almarhum maupun almarhumah.

Harta tersebut dibawa oleh keluarga terdekat, biasanya anak tertua atau keponakan menyerahkan kepada pesuruh adat (abhu akho) yang mewakili keluarga duka. Penyerahan dilakukan di hadapan masyarakat luas sebagai bentuk pengakuan publik atas jasa dan posisi orang yang meninggal dunia.

Sedangkan Rimeahili atau dikenal juga sebagai Heleahili merupakan ungkapan ratapan etnik yang biasa dilantunkan dalam suasana perpisahan atau kedukaan.

Dalam praktiknya, ratapan ini menyuarakan kasih, kehilangan dan penghormatan terhadap orang yang pergi, entah karena menikah dan meninggalkan rumah, atau karena meninggal dunia.

"Rimeahili merupakan cara kami orang Sentani berbicara dengan hati, bukan sekedar lagu, tetapi curahan emosi yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata biasa," kata Kepala Bidang Kebudayaan pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jayapura Fred Modouw kepada ANTARA.

Modouw menjelaskan, Rimeahili biasa dilantunkan oleh anggota keluarga, terutama saudara kandung, sebagai penghormatan terakhir. Biasanya, ratapan itu bersifat spontan dan penuh dengan kenangan tentang kebaikan.

"Setiap bait yang dilantunkan adalah kisah, dan setiap nada adalah luka yang terdalam yang membekas," ujarnya.

Kontekstualisasi dalam iman kristen

Dalam semangat paskah 2025, jemaat GKI Syalom SiBa memadukan dua tradisi tersebut ke dalam prosesi ibadah Jumat Agung, sebagai hari memperingati penderitaan dan wafatnya Yesus Kristus di kayu salib.

Prosesi dimulai dari luar gedung gereja. Tiga barisan jemaat yang terdiri dari perempuan (persekutuan wanita), pemuda-pemudi (persekutuan anak dan remaja), serta kaum bapak (persekutuan kaum bapak), berjalan perlahan menuju altar gereja, masing-masing membawakan persembahan seadanya.

Ada yang membawa makanan, tas khas Papua (noken) berisikan hasil kebun, hingga sehelai kain adat. Semua dipersembahkan bukan sebagai ritual adat semata, tetapi simbol duka dan kasih terhadap Yesus yang telah wafat demi umat manusia.

Mereka melangkah dengan iringan tabuhan tifa, tarian sakral, serta suara gemerincing batu dalam kaleng, sehingga mengeluarkan bunyi khas yang biasa terdengar dalam suasana duka adat suku Sentani.

Dalam suasana khidmat, mereka menyerahkan persembahan tersebut kepada para majelis jemaat yang telah mengambil peran sebagai penerima harta (abhu akho) dalam tradisi Khulu suku Sentani.

"Ketika Yesus mati, ia tidak hanya meninggal dunia. Ia meninggalkan warisan kasih yang tidak ternilai, itu yang kami wujudkan dalam simbol-simbol ini," kata Pengkhotbah pada ibadah Jumat Agung Pendeta Robby Depondoe.

Pendeta Robby menjelaskan bahwa prosesi ini bukan sekadar pertunjukan budaya, melainkan sebuah tindakan iman yang sesungguhnya.

Menurutnya, Yesus dalam penderitaan dan kematiannya merupakan sosok yang layak untuk dihormati seperti layaknya seorang Ondoafi besar.

"Menggabungkan Khulu dan Rimeahili dalam liturgi bukan berarti mencampuradukkan iman dan adat, tetapi menjadikan budaya sebagai medium untuk mengungkapkan iman dengan cara otentik dan membumi," ujarnya.

Ratapan cinta

Puncak ibadah terjadi ketika Mama Adelce Monim melantunkan Rimeahili di depan mimbar. Ia berdiri dengan mata berkaca, menggenggam selendang dan menengadah ke langit-langit gereja. Suaranya naik dan turun, membentuk ritme yang penuh lirih dan haru.

Dalam ratapannya, mama Adelce menyebutkan Yesus sebagai putra Allah dari ufuk timur yang datang dengan kasih, menderita tanpa balas dendam, dan mati agar manusia hidup dalam terang.

Jemaat tampak terharu, menunduk dan menangis. Suasana gereja berubah menjadi ruang duka rohani, namun bukan duka tanpa harapan, justru di tengah tangisan itu, iman jemaat diteguhkan.

Fred Modouw menegaskan bahwa kekayaan budaya Sentani seharusnya tidak dilihat sebagai tantangan bagi iman kristen, tetapi sebagai kekuatan ekspresif yang memperkaya pemahaman iman.

"Gereja bukan hanya tempat berkhotbah dalam bahasa asing, tetapi tempat dimana iman menjadi daging dalam budaya kita, dalam Khulu dan Rimeahili kami tidak hanya mengenang Yesus, kami menghormatinya seperti kami menghormati leluhur kami," katanya lagi.

Mengakar dan bertumbuh

Prosesi Khulu dalam paskah jemaat GKI Syalom SiBa menjadi bukti nyata sebagaimana iman kristen dapat berakar dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan esensinya. Tidak ada kontradiksi hanya ada harmoni dalam tifa dan air mata ratapan, serta ada pesan kasih yang tak lekang oleh zaman.

Tradisi ini tidak hanya menghidupkan kembali warisan leluhur, tetapi juga memperkuat identitas orang Sentani sebagai umat percaya yang tidak tercerabut dari akar budayanya.

Pendeta Robby berharap agar gereja-gereja di Papua dapat terus membuka ruang bagi budaya lokal untuk hidup berdampingan dengan liturgi gerejawi.

"Karena Injil seperti air, maka ia akan mencari wadanyanya dan budaya merupakan wadah yang paling manusiawi untuk membawa kabar baik itu sampai ke hati," ujarnya.

Demikian prosesi Khulu dan Rimeahili menjadi saksi bahwa di ufuk timur Indonesia, yaitu di Danau Sentani, kasih kristus dinyatakan bukan hanya lewat ayat-ayat, tetapi lewat nyanyian duka, persembahan sederhana, dan suasana hati yang berseru dalam bahasa ibu.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |