Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mendorong Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mengkaji ulang penerapan tarif cukai pada industri hasil tembakau (IHT) secara moderat sehingga penerimaan negara dapat semakin optimal.
Menurut dia dalam keterangannya di Jakarta, Jumat kebijakan tarif cukai hasil tembakau jangan sampai eksesif, sehingga industri hasil tembakau tidak mengalami kontraksi atau penurunan produksi yang signifikan.
Ia mencontohkan perusahaan rokok Gudang Garam untuk golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM I) mengalami kontraksi atau penurunan produksi yang besar namun tembakau di pasar habis.
"Kami belum tahu persis mungkin apakah terjadi peningkatan impor terhadap tembakau, sehingga kalau tembakau dalam negeri habis terjadi peningkatan impor juga terhadap tembakau," ujarnya.
Kondisi yang dialami Gudang Garam, lanjutnya harus dianalisis dan perlu mengatur exit strateginya, apakah ini juga dialami oleh pabrik rokok lainnya.
Baca juga: GAPPRI: Perlu deregulasi aturan rokok wujudkan Indonesia Incorporated
"Kalau ini dialami oleh pabrik rokok yang lainnya, berarti sistem tarif cukai yang selama ini selalu menggunakan single model yaitu kenaikan tarif dan selalu dikenakan pada golongan SKM I, maka kita harus mengkaji ulang, karena itu eksesif dari sisi apa produksi dan eksesif terhadap penerimaan cukai kita," kata Misbakhun.
Sementara itu Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyatakan mendukung dirumuskannya Peta Jalan (Roadmap) kebijakan tarif cukai dan harga jual rokok eceran (HJE) untuk periode 2026 - 2029.
Ketua umum GAPPRI, Henry Najoan mengatakan agar Peta Jalan (Roadmap) kebijakan ini efektif, efisien dan menciptakan iklim usaha yang kondusif, maka Perkumpulan GAPPRI meminta dua hal.
Pertama, agar selama tahun 2026 - 2029, industri hasil tembakau (lHT) diberi waktu pemulihan terutama dari tekanan rokok murah yang tidak jelas asal dan produsennya, dengan cara tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) tidak dinaikkan.
"Kemudian, tahun 2029 saat daya beli membaik dapat dinaikkan sesuai kondisi pertumbuhan ekonomi atau inflasi," ujarnya.
Kedua, pentingnya melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) terkait akan memastikan keseimbangan yang inklusif dan berkeadilan antara aspek kesehatan, tenaga kerja lHT, pertanian tembakau dan cengkeh, peredaran rokok murah yang tidak jelas produsennya dan penerimaan negara melalui Peta Jalan (Roadmap) IHT lndustri 2026 -2029.
"Kami berharap, semoga hasil perumusan peta jalan ini jadi solusi bagi mengamankan pendapatan negara dari sektor Cukai Hasil Tembakau, kelangsungan tersedia lapangan pekerjaan, efek ganda, nilai tambah serta pengamanan investasi," demikian Henry Najoan.
Baca juga: Indodata: Peredaran rokok ilegal rugikan negara Rp97,81 triliun
Pewarta: Subagyo
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2025