Banggai, Sulawesi Tengah (ANTARA) - Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum (Kemenkum) Sulawesi Tengah (Sulteng) mencatatkan burung Maleo, satwa endemik Sulawesi di Kabupaten Banggai sebagai kekayaan intelektual komunal (KIK).
Kepala Kanwil Kemenkum Sulteng Rakhmat Renaldy di Luwuk, Selasa, mengatakan bahwa pencatatan burung Maleo sebagai kekayaan intelektual komunal menjadi bukti hadirnya negara dalam menjaga dan melestarikan identitas daerah yang bersifat komunal dan tak ternilai harganya.
"Burung Maleo adalah identitas ekologis dan kultural Banggai. Perlindungan KIK memastikan bahwa kearifan lokal dan nilai-nilai budaya yang melekat padanya tetap terjaga untuk generasi mendatang," katanya.
Rakhmat menyerahkan langsung sertifikat KIK kepada Bupati Banggai Amirudin Tamoreka pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-65 Kabupaten Banggai.
Dia mengatakan pencatatan KIK bukan hanya soal pengakuan administratif, tetapi bagian dari strategi pelestarian berbasis hukum yang mencegah eksploitasi, penyalahgunaan, atau klaim oleh pihak luar terhadap kekayaan budaya dan hayati lokal.
Baca juga: Menteri Trenggono: Tradisi Maleo Pukek dilestarikan bersihkan laut
Menurut dia, dengan status hukum sebagai kekayaan intelektual komunal, keberadaan burung Maleo kini dilindungi oleh negara dan tercatat secara resmi dalam database kekayaan intelektual Indonesia.
"Langkah ini diharapkan menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk turut melindungi warisan budaya dan hayati mereka masing-masing, sebagai bagian dari pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berakar pada kearifan lokal," ujarnya.
Bupati Banggai Amirudin Tamoreka menyambut baik penetapan burung Maleo sebagai KIK dan menyampaikan terima kasih kepada Kanwil Kemenkum Sulteng atas pendampingan yang telah diberikan.
Burung Maleo (macrocephalon maleo) merupakan satwa endemik Sulawesi yang memiliki nilai ekologis, spiritual, dan budaya yang tinggi.
Baca juga: Menparekraf minta Pemda jaga kelestarian burung maleo di Sulteng
Ia mengatakan bagi masyarakat Banggai, burung ini bukan hanya satwa langka, tetapi juga simbol keseimbangan alam, kearifan lokal, dan keharmonisan antara manusia dan lingkungan.
Oleh karena itu, Amirudin menilai langkah ini menjadi tonggak penting dalam upaya pelestarian lingkungan hidup sekaligus penguatan identitas budaya Banggai.
"Kami berkomitmen untuk terus mengedukasi masyarakat, menjaga habitat burung Maleo, serta menjadikannya bagian dari promosi pariwisata berbasis konservasi," ujarnya.
Ia mengatakan perlindungan ini tidak hanya menjaga alam, tetapi juga membuka peluang ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat.
Baca juga: Dispar siapkan Festival Maleo masuk Kharisma Event Nusantara
Baca juga: PLN-BKSDA lestarikan burung maleo di KPHK Tangkoko
Pewarta: Nur Amalia Amir
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.