Kebijakan pajak dan upaya mengurai ketimpangan

3 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Badan Pusat Statistik (BPS), seperti dilansir Antaranews.com (16/01/2025), melaporkan penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia yang berada di titik terendah sepanjang sejarah. Per September 2024, angka kemiskinan kita besarnya 8,57 persen dari populasi, terendah sejak 1970 yang sebesar 60 persen.

Namun, di balik kabar baik tersebut, masalah ketimpangan ekonomi tetap menjadi persoalan nyata yang tak kunjung usai. Data BPS juga menunjukkan koefisien gini Indonesia pada September 2024 sebesar 0,381, meningkat 0,002 dari Maret di tahun yang sama.

Seperti diketahui, koefisien gini bernilai antara 0 hingga 1 yang merupakan penunjuk tingkat ketimpangan pendapatan. Semakin tinggi nilainya, semakin lebar ketimpangan di masyarakat.

Laporan Bank Dunia bertajuk Growing Challenges memperkirakan sekitar 77 persen total kekayaan di Indonesia hanya dikuasai oleh 10 persen penduduk terkaya. Ironisnya lagi, satu persen orang terkaya menguasai hampir separuh total kekayaan.

Di luar data-data itu, akses terhadap layanan dasar juga menunjukkan ketidakmerataan yang akut. Masyarakat di daerah terpencil, misalnya, umumnya jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat di perkotaan dalam hal kualitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan peluang ekonomi.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa menurunnya angka kemiskinan belum tentu diikuti oleh menipisnya ketimpangan. Untuk mengatasi masalah ketimpangan dan menyasar akar permasalahannya, diperlukan aksi nyata.

Dalam konteks ini, pajak sebagai instrumen pengumpul pendapatan negara dapat memainkan perannya sebagai alat redistribusi. Pertanyaan yang mendasar kemudian adalah sejauh mana kebijakan pajak berperan dan bisa digunakan untuk mengurai ketimpangan yang begitu kompleks?

Banyak pakar kebijakan melihat potensi besar pajak dalam mengatasi ketimpangan. Teori redistribusi melalui pajak progresif menjadi argumen utama. Dalam sistem pajak progresif, mereka yang berpenghasilan besar dibebankan tarif yang lebih tinggi. Tujuannya adalah untuk menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata.

Hasil pemungutan pajak dari kelompok kaya dapat digunakan untuk mendanai program-program seperti subsidi pendidikan dan kesehatan yang menyasar kelompok miskin. Kebijakan pajak progresif telah banyak dibahas dalam literatur akademik. Schweiger (2015) misalnya dalam karya berjudul Taxation and the Duty to Alleviate Poverty menegaskan bahwa pajak progresif merupakan salah satu instrumen kebijakan paling efektif dalam mengurangi ketimpangan.

Namun, implementasi kebijakan redistribusi pajak di Indonesia masih jauh dari sempurna. Salah satu contohnya adalah pengenaan pajak penghasilan (PPh) progresif yang belum optimal karena desain kebijakan yang memungkinkan kelompok berpenghasilan tinggi melakukan perencanaan maupun penghindaran pajak.

Dengan lapisan tarif PPh tertinggi sebesar 35 persen, kelompok kaya kita menghindari tarif tersebut melalui mekanisme PPh final yang dimungkinkan oleh undang-undang. Misalnya, daripada mengambil gaji besar yang bisa kena pajak 35 persen, pemilik perusahaan akan cenderung meminta dividen yang dikenakan tarif PPh final 10 persen.

Belum lagi, praktik penghindaran pajak oleh wajib pajak besar melalui penyembunyian aset di luar negeri yang kian menjadi penghambat dalam redistribusi pendapatan. Persoalan ini perlu menjadi perhatian pemerintah, bukan dengan sekadar menawarkan pengampunan (tax amnesty) melainkan melalui reformasi berkeadilan.

Berikutnya, di antara kebijakan pajak yang belakangan ini kembali ramai digaungkan adalah pengenaan pajak kekayaan untuk menjadi solusi dalam mengurai ketimpangan. Desain dari pajak tersebut yaitu berupa pengenaan pajak pada aset-aset bernilai tinggi seperti properti, investasi, dan warisan, yang selama ini masih sering lolos dari pengenaan pajak secara fair.

Minusnya, kebijakan pajak kekayaan biasanya mendapat kritik karena kekhawatiran bisa mengurangi motivasi berinvestasi. Kendati demikian, desain pajak kekayaan yang tepat dapat memitigasi dampak negatif tersebut. Misalnya, bila aset produktif dikecualikan dari pengenaan pajak.

Dalam mendesain kebijakan pajak yang bertujuan mengurangi ketimpangan, resistensi dari kelompok yang diuntungkan oleh status quo patut menjadi konsen pemerintah. Di negara manapun, kelompok tersebut umumnya punya pengaruh politik yang signifikan yang dengannya mereka bisa menghambat reformasi kebijakan bila sekiranya akan sedikit mengikis kekayaan mereka.

Dalam hal ini, perlu kiranya keberanian politik pemerintah serta dukungan luas masyarakat. Edukasi publik terkait manfaat jangka panjang dari kebijakan pajak yang adil dan progresif menjadi kunci untuk menciptakan konsensus di akar rumput agar satu suara mendukung reformasi tersebut.

Selain pajak kekayaan, kebijakan subsidi yang terarah tidak kalah pentingnya dalam mengatasi ketimpangan. Subsidi adalah sisi pengeluaran dari kebijakan pajak mengingat sebagian besar dana subsidi berasal dari alokasi penerimaan pajak. Subsidi yang menyasar kebutuhan dasar dapat memberikan dua manfaat sekaligus, yaitu meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin sekaligus membuka peluang mobilitas sosial.

Melalui kebijakan pajak, pemerintah dapat mendistribusikan sumber daya secara lebih merata, mendorong pertumbuhan ekonomi agar lebih inklusif, mendanai program-program sosial, hingga meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan publik berkualitas.

Pertanyaannya tentu saja kembali pada sejauh mana pemerintah memiliki keberanian dan komitmen untuk melakukan reformasi pajak yang diperlukan. Kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial pastinya dalam jangka pendek akan jauh dari kata populis serta memerlukan pengorbanan politik. Akan tetapi, manfaatnya akan dirasakan dalam jangka panjang oleh seluruh lapisan masyarakat.

Apakah pemerintah kita akan cukup berani mengedepankan keadilan di atas kepentingan populis yang sifatnya sementara? Karena tanpa keberanian tersebut, janji akan keadilan hanya akan menjadi retorika tanpa aksi nyata.

*) Ismail Khozen adalah Dosen Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FIA UI, Manajer Riset Pratama Institute

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |