Kajati persilakan legislator penerima suap ajukan perlindungan LPSK

5 days ago 10

Mataram (ANTARA) - Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat Wahyudi mempersilakan kepada para legislator yang berstatus sebagai penerima suap dalam kasus gratifikasi DPRD Provinsi NTB tahun 2025 mengajukan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

"Itu hak dasar dari manusia. Silakan saja, saya tidak bisa menghalangi," kata Wahyudi dalam konferensi pers peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tahun 2025 di gedung Kejati NTB, Mataram, Selasa.

Apakah adanya permintaan perlindungan ini akan mempengaruhi penyidikan yang telah menetapkan tiga tersangka, Wahyudi menegaskan bahwa pihaknya masih harus melihat lebih jauh hasil telaah dari LPSK sebagai pihak yang punya kewenangan.

"Itu (permintaan perlindungan) domain-nya LPSK. Dari sisi kita (Kejati NTB), selama itu membantu APH untuk pembuktian, kita akomodir. Kalau tidak membantu, ya kita pertimbangkan," ujarnya.

Kajati NTB tidak memungkiri bahwa pihaknya dapat menerapkan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kepada penyelenggara negara yang berstatus sebagai penerima suap.

Baca juga: Kasus gratifikasi, seorang anggota DPRD NTB minta perlindungan LPSK

Namun demikian, penerapan pasal tersebut harus merujuk pada pemenuhan alat bukti yang sah sesuai dengan aturan Pasal 184 KUHAP. Jaksa pun menjadikan penelusuran mensrea atau niat jahat dari penerima suap sebagai bahan pengembangan penyidikan.

"Kita lihat nanti, memang masih dalam analisa teman-teman penyidik, sejauh mana mensrea-nya (niat jahat)," ucap dia.

Dalam kasus ini kejaksaan telah menetapkan tiga legislator sebagai tersangka. Mereka adalah Indra Jaya Usman alias IJU, Hamdan Kasim alias HK, dan Muhammad Nashib Ikroman alias MNI.

Jaksa sebelumnya menyatakan ketiga tersangka berperan sebagai pemberi. Uang gratifikasi yang diterima belasan legislator disebut jaksa berasal dari ketiga tersangka.

Uang gratifikasi dengan nilai total sedikitnya Rp2 miliar tersebut kini dititipkan belasan legislator ke penyidik kejaksaan dan menjadi kelengkapan alat bukti.

Baca juga: Kasus gratifikasi, 15 anggota DPRD NTB ajukan perlindungan ke LPSK

Hal itu turut menguatkan langkah penyidik menerapkan sangkaan Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terhadap ketiga tersangka yang berperan sebagai pemberi gratifikasi.

LPSK melalui tenaga ahlinya, Tomi Permana saat ditemui di Mataram, Selasa (2/12), mengatakan sudah ada sebanyak 15 anggota DPRD NTB yang mengajukan permohonan perlindungan di kasus gratifikasi yang telah menetapkan tiga tersangka tersebut.

Tindak lanjut dari pengajuan, LPSK telah mengategorikan permohonan mereka ke dalam bentuk Pemenuhan Hak Prosedural (PHP).

"Karena saat ini status mereka masih menjadi saksi," ujar Tomi.

Dalam pemenuhan kategori tersebut, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mulai dari tingkat ancaman, rekam jejak si pemohon, dan asesmen psikologi.

"Karena ini berkaitan dengan kasus korupsi, jadi harus dilihat juga sejauh mana ancaman bisa mengungkap atau membongkar kasus tersebut. Ini masih didalami," ucap dia.

Baca juga: 32 anggota DPRD NTB dipanggil terkait berkas tersangka gratifikasi

Baca juga: Dua tersangka kasus gratifikasi DPRD NTB ajukan praperadilan

Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |