Jejak sunyi anak yang terlambat tumbuh

3 weeks ago 16

Mataram (ANTARA) - Pagi yang cerah di sebuah dusun pesisir di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), kerap memperlihatkan pemandangan serupa, ketika seorang ibu menimbang balita di posyandu sambil berharap jarum timbangan bergerak lebih ke kanan.

Harapan sederhana itu, sesungguhnya menjadi simbol persoalan yang jauh lebih besar. Laporan pemantauan gizi pemerintah daerah menunjukkan prevalensi stunting di NTB kembali meningkat dalam setahun terakhir, hingga mendekati 30 persen.

Lonjakan itu tak hanya menandakan masalah gizi yang membandel, tetapi juga membuka tabir kerentanan sosial yang saling bertautan.

Dua kabupaten, yakni Lombok Utara dan Lombok Timur, kini masuk zona merah stunting. Lombok Utara mencatat 35,3 persen dan Lombok Timur 33 persen.

Keduanya menyumbang beban terbesar bagi NTB dan menjadi indikator bahwa persoalan gizi, bukan sekadar urusan dapur keluarga, tetapi juga cermin ketimpangan pembangunan, layanan kesehatan, hingga isu sosial, seperti pernikahan usia anak yang masih tinggi.

Pada 2024, NTB mencatat 14,96 persen perkawinan anak, tertinggi secara nasional. Angka itu berdampak langsung pada tingginya risiko bayi lahir dengan berat badan rendah dan tumbuh kembang terhambat.

Dalam konteks itu, stunting bukan hanya statistik. Ia lebih menyerupai alarm yang terus berdetak, mengingatkan bahwa masa depan generasi muda NTB terancam tertinggal, sebelum berlomba.

Tulisan ini mencoba memetakan bagaimana upaya pemerintah berjalan, di mana letak tantangannya, serta bagaimana ruang solusi bisa dibuka lebih lebar.

Arah intervensi

Pemerintah daerah tidak tinggal diam. Beragam intervensi kini digulirkan dari tingkat provinsi hingga desa. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menyasar ibu hamil, ibu menyusui, dan balita menjadi salah satu strategi utama.

Kelompok sasaran ini dipilih karena berada pada fase paling menentukan dalam siklus 1.000 hari pertama kehidupan. Satgas MBG juga diperkuat untuk melakukan intervensi langsung pada keluarga berisiko stunting.

Pendekatan ini menekankan dua hal, yakni pemulihan anak yang sudah stunting serta pencegahan munculnya kasus baru.

Lombok Tengah menjadi salah satu contoh kabupaten yang menunjukkan capaian menggembirakan. Pada November 2025, prevalensi stunting berada pada angka 9,28 persen, turun dari 10,98 persen.

Penurunan ini tidak serta-merta terjadi. Pemerintah kabupaten menandatangani pakta integritas dengan kepala desa, camat, dan kepala puskesmas.

Semua diarahkan pada target 14 persen, sesuai rencana nasional. Lombok Tengah juga memperkuat program edukasi gemar makan ikan sebagai bagian dari upaya memenuhi kecukupan protein hewani yang sering kali kurang di dalam menu keluarga.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |