Ini pemanfaatan ganja untuk kebutuhan medis

9 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Ganja atau medical marijuana kini menjadi topik yang semakin mendapat perhatian di dunia medis global. Kandungan senyawa aktif di dalam tanaman ini dinilai memiliki potensi terapeutik untuk membantu mengobati berbagai kondisi kesehatan, meski penggunaannya masih menimbulkan pro dan kontra di banyak negara, termasuk Indonesia.

Tanaman ganja diketahui mengandung lebih dari 100 senyawa kimia yang disebut cannabinoid, dengan dua senyawa utama yang paling banyak diteliti yaitu delta-9-tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD). THC merupakan komponen psikoaktif yang menimbulkan efek "teler", sedangkan CBD tidak menimbulkan efek tersebut namun memiliki khasiat pengobatan yang signifikan.

Baca juga: Daftar negara yang legalkan ganja untuk kebutuhan medis

Berikut ini adalah sejumlah manfaat ganja untuk kebutuhan medis yang telah diteliti secara ilmiah:

1. Membantu mengurangi kejang pada pasien epilepsi

Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Cureus tahun 2018 menunjukkan bahwa ganja memiliki potensi untuk membantu meredakan gejala epilepsi, terutama pada pasien yang tidak merespons terhadap pengobatan konvensional. Cannabinoid dalam ganja diyakini dapat mengurangi pelepasan neurotransmiter di sistem saraf pusat, sehingga menurunkan risiko terjadinya kejang.

2. Menurunkan tekanan mata pada penderita glaukoma

Glaukoma merupakan penyakit mata yang menyebabkan peningkatan tekanan di dalam bola mata dan dapat merusak saraf optik, sehingga berisiko menimbulkan kebutaan. Menurut National Eye Institute, ganja diketahui mampu menurunkan tekanan intraokular (IOP), baik pada individu dengan tekanan mata normal maupun penderita glaukoma.

3. Meningkatkan kapasitas paru-paru

Penelitian dalam Journal of the American Medical Association pada 2012 menunjukkan bahwa penggunaan ganja dengan cara diisap dalam jangka waktu tertentu justru dapat meningkatkan fungsi paru-paru, berbeda dengan efek merugikan yang ditimbulkan oleh asap tembakau. Studi ini melibatkan lebih dari 5.000 orang dewasa muda selama lebih dari 20 tahun.

4. Terapi paliatif bagi pasien kanker

American Cancer Society menyebut bahwa ganja berpotensi menjadi terapi paliatif untuk pasien kanker. Penggunaan ganja dapat membantu meredakan nyeri kronis, mual, dan muntah akibat kemoterapi. Meski demikian, ganja belum terbukti dapat menyembuhkan atau menghentikan perkembangan sel kanker secara langsung.

Baca juga: Hoaks! Foto pasangan di ladang ganja Bromo

5. Mengurangi nyeri kronis

Ganja medis banyak digunakan untuk mengatasi nyeri kronis, khususnya yang disebabkan oleh kerusakan saraf (nyeri neuropatik). Tinjauan terhadap 47 studi pada 2018 menunjukkan bahwa sekitar 29 persen pasien melaporkan pengurangan nyeri sebesar 30 persen setelah menggunakan ganja, sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok plasebo.

6. Membantu menurunkan kecemasan

Sejumlah studi kecil menunjukkan bahwa CBD dapat membantu menurunkan gejala kecemasan, terutama pada individu dengan gangguan kecemasan sosial. Efek serupa juga dilaporkan oleh pasien dengan nyeri kronis yang disertai gejala kecemasan.

7. Meredakan gejala sindrom tourette

Penelitian terbatas pada tahun 2015 menunjukkan bahwa THC memiliki potensi untuk mengurangi frekuensi dan intensitas tics atau gerakan tak terkendali pada pasien sindrom Tourette. Namun, data klinis terkait efektivitasnya masih perlu diperluas.

8. Membantu mengatasi gangguan tidur

Ganja juga diketahui dapat memperbaiki kualitas tidur pada pasien dengan kondisi medis tertentu seperti nyeri kronis, PTSD, dan multiple sclerosis. Efek peningkatan tidur ini bisa jadi merupakan hasil tidak langsung dari pengurangan gejala utama.

9. Memperlambat perkembangan alzheimer

​​​​​​​Sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Molecular Pharmaceutics menemukan bahwa THC dapat membantu memperlambat pembentukan plak amiloid di otak, yaitu penyebab utama kerusakan sel otak pada pasien Alzheimer. Meski temuan ini menjanjikan, penelitian masih berada pada tahap awal dan memerlukan studi lanjutan.

Baca juga: Anggota DPR minta pengawasan ditingkatkan usai temuan ladang ganja di Bromo

10. Meningkatkan nafsu makan pada pasien HIV/AIDS

Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) telah menyetujui penggunaan dronabinol, cannabinoid sintetis, sejak tahun 1992 untuk meningkatkan nafsu makan pada pasien HIV/AIDS. Meski bukti ilmiah secara keseluruhan masih terbatas, terapi ini telah digunakan secara luas di beberapa negara.

Meski memiliki sejumlah manfaat medis, penggunaan ganja tetap memerlukan pengawasan ketat oleh tenaga medis profesional. Efek samping seperti pusing, gangguan kognitif, hingga ketergantungan tetap menjadi perhatian utama dalam penggunaannya.

Di Indonesia, ganja masih tergolong sebagai narkotika golongan I yang penggunaannya dilarang kecuali untuk keperluan terbatas dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Diskursus mengenai legalisasi ganja medis pun terus bergulir seiring dengan perkembangan bukti ilmiah yang mendukung manfaat terapeutiknya.

Baru-baru ini Badan Narkotika Nasional (BNN) tengah mengkaji kemungkinan penggunaan ganja untuk medis melalui riset bersama Kementerian Kesehatan dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Kepala BNN Komjen Pol. Marthinus Hukom menyatakan bahwa penelitian akan dilakukan di laboratorium forensik BNN sebagai bagian dari respons atas putusan Mahkamah Konstitusi yang meminta pengkajian ganja medis. Dorongan ini juga berasal dari masyarakat, termasuk keluarga pasien dengan celebral palsy yang mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Narkotika.

Anggota Komisi III DPR RI Hinca Panjaitan dalam rapat kerja bersama BNN menyatakan bahwa riset ganja medis mendesak dilakukan mengingat adanya putusan MK yang telah terbit sejak tiga tahun lalu.

Baca juga: Tiga terdakwa penanam ganja di lereng Semeru divonis 20 tahun penjara

Baca juga: Dua orang ditangkap terkait penyelundupan 143 kilogram ganja

Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |