Jakarta (ANTARA) - Berhutang dalam Islam bukan sekadar transaksi finansial, tetapi sebuah amanah yang harus dijalankan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Setiap utang yang diambil menjadi kewajiban moral dan spiritual bagi seorang Muslim untuk membayarnya tepat waktu.
Syariat Islam juga menetapkan adab-adab berhutang sebagai panduan agar hubungan sosial tetap harmonis. Dengan mengikuti ajaran ini, umat diharapkan semakin mendekatkan diri kepada Allah sambil menjaga kejujuran dalam bermuamalah.
Baca juga: Ada kepala sekolah berhutang gara-gara mekanisme baru BOS
Etika berhutang dalam Islam
1. Niat (niyyah) yang tulus dan tujuan yang jelas
Seorang muslim hanya diperbolehkan berhutang jika niatnya baik dan untuk keperluan yang bermanfaat—seperti memenuhi kebutuhan pokok, biaya pendidikan, atau keperluan darurat lainnya. Sebaliknya, berhutang tanpa niat membayar atau untuk hal yang tidak berguna dapat berdampak buruk secara spiritual dan moral.
2. Mencatat utang dan memperjelas kesepakatan
Al Quran menegaskan pentingnya mencatat transaksi utang yang jatuh temponya di masa mendatang, demi menghindari perselisihan. Penulisan ini juga mencakup penetapan waktu pengembalian. Penambahan saksi atau dokumen resmi akan semakin menjaga keadilan kedua pihak.
3. Menghindari riba dan praktik tersembunyi
Islam melarang keras pengambilan keuntungan dari utang dalam bentuk bunga (riba). Bahkan imbalan sukarela pun tidak boleh dijadikan syarat, untuk menghindari riba terselubung.
Baca juga: Jangan anggap remeh! Ini konsekuensi menunda bayar hutang dalam Islam
4. Menepati janji dan membayar tepat waktu
Hutang adalah amanah yang harus dilunasi. Menunda pembayaran tanpa alasan ketika mampu adalah perbuatan zalim. Rasulullah SAW menyatakan, “Menunda-nunda (bayar utang) bagi orang yang mampu adalah kezaliman”. Pemilik utang juga dianjurkan untuk tidak menunggu ditagih, melainkan melunasi sebelum jatuh tempo.
5. Etika saat menagih
Pemberi utang wajib bersikap baik saat menagih: bersikap lembut, tidak mengancam atau menipu. Rasulullah SAW bersabda, “Semoga Allah merahmati seseorang yang bersikap mudah ketika menagih haknya (utangnya)”. Pendekatan yang beretika memperkuat hubungan persaudaraan.
6. Menghormati dan mendoakan pemberi utang
Penerima utang dianjurkan membalas kebaikan pemberi utang, minimal dengan doa tulus. Jika mampu memberi hadiah kecil sebagai wujud terima kasih, hal tersebut sangat terpuji.
Baca juga: Pandangan Islam terkait orang yang tidak membayar utang
7. Keringanan dan kebijaksanaan dari pemberi utang
Syariat mengajarkan agar pemberi utang memberi kemudahan bila debitur kesulitan. Jika memang tidak bisa membayar, memberikan perpanjangan, atau bahkan memaafkan utang, lebih utama dilakukan.
8. Dampak spiritual jika mengabaikan utang
Islam mengingatkan bahwa seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan belum melunasi utangnya ruhnya akan tertahan sampai utang tersebut dilunasi. Barangsiapa berniat menipu atau tidak ingin membayar utang akan dibinasakan Allah.
Melalui adab-adab yang jelas tersebut, syariat Islam menempatkan utang bukan sekadar perjanjian keuangan, tetapi juga kewajiban moral dan spiritual. Etika ini mencakup niat suci, keterbukaan, penegakan keadilan, serta sikap saling menghormati antara pemberi dan penerima utang.
Tujuannya bukan hanya meminjamkan atau menerima uang, tetapi juga mempererat silaturahmi dan membangun kepercayaan sosial. Dengan menerapkan etika berhutang sesuai syariat, kaum Muslim mampu menghadapi tantangan finansial sekaligus meraih keberkahan dan ketenangan hidup.
Baca juga: Doa pelunas hutang yang diajarkan Rasulullah
Baca juga: Kim Ji Young dituduh berhutang dan kabur ketika diminta melunasi
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.