Industri kripto ASEAN kian kompetitif, RI tak boleh tertinggal

3 months ago 7

Jakarta (ANTARA) - Industri kripto Indonesia kini berada di persimpangan antara potensi besar yang belum sepenuhnya tergarap dan tantangan global yang kian kompleks.

Indonesia saat ini menempati posisi ketiga dalam indeks adopsi kripto global versi Chainalysis 2024, yang mana menandai antusiasme serta minat masyarakat terhadap aset digital ini.

Namun di sisi lain, negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand terus melaju cepat dengan regulasi dan insentif dari pemerintah yang bisa menggerus keunggulan kompetitif Indonesia dalam waktu singkat.

Thailand, misalnya, baru saja menetapkan kebijakan pembebasan pajak penghasilan pribadi (PPh) selama periode lima tahun bagi individu yang bertransaksi melalui exchange kripto lokal. Dengan potongan pajak sebesar 15 persen hingga akhir 2029, negara Gajah Putih itu mengirim sinyal kuat bahwa mereka ingin menjadi pusat aktivitas kripto di Asia.

Vietnam pun tak kalah ambisius. Pada pertengahan Juni 2025, pemerintah Vietnam mengesahkan Undang-Undang Industri Teknologi Digital yang memasukkan aset kripto ke dalam kerangka hukum formal dengan pengawasan anti-pencucian uang (AML) dan anti-terorisme yang ketat.

Regulasi yang tepat jadi kunci

Dengan adanya persaingan di antara negara-negara Asia Tenggara, sebenarnya Indonesia mempunyai potensi pasar kripto yang cukup besar.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, nilai transaksi aset kripto selama bulan Maret 2025 mencapai sebesar Rp32,45 triliun, relatif stabil dibandingkan periode Februari 2025 yang tercatat sebesar Rp32,78 triliun.

Dari sisi investor, jumlah konsumen aset kripto tercatat naik dari bulan sebelumnya dari 13,31 juta konsumen pada Februari 202 menjadi 13,71 juta konsumen pada Maret 2025.

Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto (IAKD) OJK Hasan Fawzi menilai capaian ini bakal terus berkembang seiring banyaknya investor kripto di Indonesia.

Hingga April 2025, sudah ada sebanyak 1.444 aset kripto yang dapat diperdagangkan. OJK juga telah menyetujui permohonan izin 22 entitas di ekosistem perdagangan aset kripto.

Meski demikian, CEO Tokocrypto Calvin Kizana mengingatkan bahwa Indonesia harus segera bersiap menghadapi kompetisi regional yang semakin tajam.

“Indonesia memiliki potensi besar sebagai pasar kripto, tetapi kita tidak bisa terlena. Agar tidak tertinggal dari Vietnam dan Thailand, perlu ada sinergi yang kuat antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat untuk menciptakan regulasi yang mendukung, edukasi yang masif, serta insentif yang mendorong adopsi,” ujarnya.

Saat ini, tongkat pengawasan aset kripto di Indonesia sudah resmi beralih dari yang sebelumnya Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Peralihan kewenangan ini bukan sekadar pergantian administratif, melainkan amanat dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).

Di Indonesia sendiri, aset kripto masih dikategorikan sebagai komoditas, bukan alat pembayaran yang sah. Aset digital ini dapat diperdagangkan di exchange yang terdaftar dan diawasi, namun belum boleh digunakan sebagai alat transaksi dalam jual-beli barang dan jasa.

Selain itu, ekosistem kripto di Indonesia masih mengandalkan skema perpajakan lama. Setiap transaksi kripto dikenakan PPh 22 final sebesar 0,1 persen dan PPN sebesar 0,11 persen. Pajak ini berlaku sejak Mei 2022, dan masih menjadi beban yang dirasa berat oleh sebagian pelaku industri, terutama di tengah persaingan regional yang makin ketat.

Hal ini turut menjadi parhatian para pelaku industri kripto di Indonesia. Menurut Calvin, langkah Thailand yang memberikan insentif pajak justru bisa dijadikan kajian penting oleh otoritas fiskal Indonesia untuk menciptakan kebijakan yang pro-industri.

Di samping itu, kejelasan hukum dan peta jalan (roadmap) adopsi teknologi seperti yang dilakukan Vietnam juga patut dijadikan inspirasi, terutama dalam upaya menciptakan rasa aman bagi investor dan pengembang teknologi.

Sebab, Indonesia belum memiliki undang-undang khusus tentang aset digital atau kripto sebagaimana dimiliki Vietnam. Hal ini menyebabkan ketidakpastian regulasi, terutama bagi investor institusional.

Lebih lanjut, Calvin menekankan bahwa regulasi Indonesia saat ini masih memiliki ruang untuk ditingkatkan agar lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi blockchain dan berbagai model bisnis baru yang terus bermunculan, seperti decentralized finance (DeFi), tokenisasi aset, hingga ekonomi Web3.

“Kami percaya bahwa dengan regulasi yang progresif, kolaborasi lintas sektor, serta komitmen bersama, industri kripto Indonesia tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga menjadi pemimpin di Asia Tenggara,” katanya.

Namun, upaya memperkuat ekosistem kripto nasional tidak bisa hanya bergantung pada regulasi. Calvin menyoroti pentingnya insentif fiskal, peningkatan literasi digital, serta dukungan nyata terhadap perusahaan rintisan (startup) dan pengembang lokal.

Diperlukan ekosistem yang mendukung dari hulu ke hilir, mulai dari edukasi, pendanaan, inkubasi, hingga perlindungan hukum. Dengan begitu, potensi pasar kripto di Tanah Air bisa berkembang secara berkelanjutan.

Kripto di tengah gejolak konflik Timur Tengah

Apabila mencermati situasi saat ini, tantangan dari luar negeri memang tidak bisa diabaikan. Gejolak geopolitik, seperti konflik antara Israel dan Iran, hingga ketidakpastian perekonomian AS telah terbukti memengaruhi sentimen pasar kripto secara signifikan.

Nilai Bitcoin dan altcoin utama sempat mengalami fluktuasi tajam seiring dengan ketidakpastian atas kelanjutan gencatan senjata yang ditengahi Amerika Serikat.

Pada Rabu (25/6) pukul 15.04 WIB, harga Bitcoin tercatat naik 0,6 persen menjadi 106.679 dolar AS. Hal yang sama juga terjadi pada Ethereum yang terpantau naik 1,28 persen menjadi 1.434,78 dolar AS karena dipicu oleh optimisme pasar terhadap stabilitas kawasan pascagencatan senjata.

Kendati demikian, reli ini masih dibayangi oleh aksi ambil untung investor dan ketidakpastian apakah kesepakatan damai akan bertahan. Ketergantungan pasar kripto pada sentimen geopolitik global menunjukkan betapa rentannya industri ini terhadap gangguan eksternal.

Sifat spekulatif kripto membuatnya sangat sensitif terhadap perubahan situasi global. Oleh karena itu, ketahanan ekosistem dalam negeri menjadi sangat penting agar tidak mudah terombang-ambing oleh dinamika luar.

Agar mampu bertahan, Indonesia tidak hanya harus menjadi pusat pasar kripto, tetapi juga perlu menjadi pusat pengembangan inovasi blockchain yang tahan terhadap volatilitas global.

Dibutuhkan kolaborasi antara regulator, pelaku industri, dan institusi pendidikan guna mencetak lebih banyak talenta digital yang kompeten. Indonesia membutuhkan banyak pengembang, insinyur blockchain, serta ahli keamanan siber yang memahami tantangan hingga peluang di industri ini.

Karena bagaimanapun juga, masa depan ekonomi digital yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan blockchain dan aset kripto. Indonesia tak boleh lengah di tengah perlombaan industri kripto. Sebab, blockchain dan aset digital merupakan bagian dari teknologi masa depan yang perlu dikembangkan bersama.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |