Mataram (ANTARA) - Harga pangan strategis di Indonesia kerap bergerak seperti ayunan pendulum, jatuh terlalu rendah saat panen raya, lalu melonjak tinggi ketika pasokan menipis.
Fluktuasi ini bukan sekadar dinamika pasar biasa, melainkan persoalan yang langsung menyentuh hajat hidup orang banyak. Konsumen resah karena harga kebutuhan pokok berubah-ubah, sementara petani frustrasi karena hasil jerih payah mereka kerap tidak sebanding dengan ongkos produksi.
Dari sekian banyak komoditas pangan, bawang merah menempati posisi khusus. Ia bukan hanya bumbu dapur yang selalu hadir di setiap hidangan, tetapi juga salah satu penentu inflasi yang sensitif di tingkat nasional. Stabilitas harga bawang merah dengan demikian bukan sekadar isu petani, melainkan juga isu ekonomi makro yang berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat luas.
Fenomena ini nyata terlihat di Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebagai produsen bawang merah terbesar ketiga di Indonesia, NTB kerap menghadapi dilema klasik, yakni saat panen raya, harga bawang merah jatuh tajam, sementara ketika pasokan berkurang, harga melambung hingga memberatkan konsumen. Siklus berulang ini menunjukkan adanya masalah struktural dalam tata niaga yang tidak bisa dipecahkan hanya dengan intervensi musiman.
Produksi bawang di NTB memang melimpah pada musim kemarau, tetapi ketika panen raya, petani tidak memiliki pilihan selain menjual hasilnya sekaligus. Gudang penyimpanan terbatas, harga pun anjlok.
Sebaliknya, pada musim hujan, produksi merosot akibat serangan hama dan penyakit, sehingga pasokan menipis dan harga meroket. Alhasil, konsumen menjerit, sementara petani tidak serta-merta menikmati keuntungan karena hasil tanam mereka terbatas. Situasi ini memperlihatkan rapuhnya sistem manajemen pasokan yang seharusnya bisa menjaga keseimbangan antara musim surplus dan musim defisit.
Gudang kastorit
Dalam konteks inilah, usulan DPRD NTB untuk membangun gudang kastorit atau penyimpanan yang berstandar, layak diapresiasi. Gudang berteknologi modern dapat menjaga mutu, berat, dan kualitas bawang merah agar tetap layak konsumsi meski disimpan dalam waktu lama.
Dengan adanya fasilitas ini, petani tidak lagi dipaksa menjual panen pada harga terendah. Mereka dapat menunggu momentum harga yang lebih stabil, sehingga posisi tawar meningkat dan ketergantungan pada tengkulak berkurang.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa NTB menghasilkan 1,59 juta kuintal bawang merah pada 2024, menjadikannya produsen terbesar ketiga nasional setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ironisnya, produksi sebesar itu tidak diimbangi fasilitas penyimpanan yang memadai. Akibatnya, hasil panen melimpah hanya berumur singkat di pasar, lalu harganya runtuh. Gudang kastorit adalah jawaban logis atas ketimpangan ini.
Meski menjanjikan, pembangunan gudang kastorit tidak boleh hanya berhenti pada seremoni peletakan batu pertama. Sejarah pembangunan infrastruktur pertanian menunjukkan banyak gudang atau pasar hasil bumi berakhir menjadi bangunan kosong tanpa fungsi. Hal ini terjadi ketika manajemen pengelolaan tidak jelas, pengawasan longgar, atau kepentingan kelompok tertentu lebih dominan dibanding kepentingan petani.
Karena itu, kunci keberhasilan gudang kastorit bukan pada bangunannya, melainkan pada tata kelola. Pemerintah daerah harus memastikan pengelolaan dilakukan lembaga yang kredibel yakni koperasi tani yang sehat, BUMD dengan manajemen profesional, atau badan usaha yang akuntabel. Transparansi stok, kualitas, hingga distribusi wajib dijaga agar gudang tidak berubah menjadi sarang permainan baru dalam tata niaga.
Digitalisasi tata niaga
Selain gudang fisik, tata niaga bawang merah NTB perlu dipadukan dengan sistem digital yang terintegrasi. Melalui basis data terbuka, semua pihak mulai dari petani, pedagang, konsumen, hingga pemerintah dapat mengakses informasi stok dan harga secara real time. Sistem semacam ini akan mempersempit ruang spekulasi harga yang sering merugikan petani, sekaligus mempermudah distribusi dari hulu ke hilir.
Digitalisasi juga dapat menjadi sarana edukasi bagi petani agar tidak lagi buta terhadap dinamika pasar. Dengan aplikasi sederhana, petani dapat mengetahui kapan saat terbaik menjual, ke mana mendistribusikan hasil, dan bagaimana menjaga kualitas. Transparansi informasi adalah modal penting dalam menciptakan ekosistem niaga yang adil.
Gudang penyimpanan tidak akan memberi manfaat maksimal tanpa kebijakan harga dasar di tingkat petani. Pemerintah daerah perlu merumuskan mekanisme jaminan harga minimal agar petani tidak rugi meski harga pasar jatuh. Skema ini dapat ditempuh melalui pembelian hasil panen oleh BUMD pangan dengan harga tertentu, lalu stoknya disimpan di gudang kastorit.
Dengan demikian, petani memiliki kepastian usaha, sementara konsumen tetap terlindungi dari lonjakan harga ekstrem. Kebijakan semacam ini sudah lama diterapkan di sektor beras melalui program serap gabah Bulog. Prinsip serupa bisa diadaptasi untuk komoditas bawang merah yang vital bagi NTB.
Selain aspek tata niaga, masalah produktivitas juga perlu ditangani. Data BPS mencatat penurunan produksi bawang merah NTB dari 2,12 juta kuintal (2023) menjadi 1,59 juta kuintal (2024). Penurunan ini terkait fenomena El Nino dan La Nina yang mempengaruhi pola curah hujan serta serangan hama. Artinya, selain stabilisasi harga, program adaptasi iklim dan perlindungan tanaman harus diperkuat.
Pemerintah daerah bersama perguruan tinggi dapat mengembangkan varietas bawang tahan cuaca ekstrem, sekaligus memperkuat sistem penyuluhan pertanian agar petani tidak dibiarkan sendirian menghadapi tantangan iklim. Ketahanan pangan bukan hanya soal ketersediaan infrastruktur, tetapi juga soal kapasitas sumber daya manusia di sektor pertanian.
Membangun ekonomi petani
Usulan pembangunan gudang kastorit memberi secercah harapan bagi petani bawang merah NTB. Namun, harapan itu hanya akan berbuah jika diiringi tata kelola yang transparan, digitalisasi niaga, kebijakan harga dasar, dan penguatan produktivitas. Pada akhirnya, tujuan dari semua itu bukan hanya menstabilkan harga, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan petani.
Kesejahteraan petani adalah fondasi ketahanan pangan sekaligus pilar utama pembangunan ekonomi daerah. NTB tidak boleh terus-menerus menjadi “korban musiman” dari permainan harga. Petani yang berpeluh di ladang berhak atas kepastian hidup, bukan sekadar janji saat harga jatuh.
Fluktuasi harga bawang merah di NTB tidak bisa lagi dipandang sebagai siklus musiman. Ia adalah masalah sistemik yang menuntut solusi sistemik. Gudang kastorit adalah langkah awal, tetapi tidak boleh berhenti pada infrastruktur. Ia harus menjadi bagian dari sistem tata niaga yang berpihak pada petani, melibatkan teknologi, kebijakan harga, dan manajemen modern.
Api semangat membangun gudang penyimpanan harus diiringi dengan api tekad memperbaiki tata kelola. Dengan cara itu, NTB dapat keluar dari lingkaran harga yang menjerat, sekaligus membangun ketahanan pangan nasional dari desa-desa bawang merah.
Pada akhirnya, menata niaga bawang merah bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga soal kedaulatan pangan dan harga diri bangsa. Dari ladang bawang merah, kita belajar bahwa kesejahteraan petani adalah kesejahteraan kita semua.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.