Gempa Kamchatka 2025 dan kesiapsiagaan mitigasi bencana Indonesia

1 month ago 13

Jakarta (ANTARA) - Energi yang dikeluarkan oleh alam pada dasarnya tidaklah baik atau jahat. Namun begitu, energi yang maha dahsyat tersebut merupakan sebuah kekuatan alam semesta dalam bentuknya yang paling murni.

Jika umat manusia memahaminya dengan baik, maka akan dapat mengubah kehancuran dari kekuatan alam tersebut menjadi sebuah disiplin terapan, dan bencana alam menjadi konsep ketahanan berkelanjutan.

Pada 30 Juli 2025, Bumi mengingatkan kembali umat manusia akan kekuatannya yang sangat besar itu. Gempa bumi berkekuatan magnitudo 8,8 melanda lepas pantai Semenanjung Kamchatka Rusia. Gempa mengguncang Lingkar Pasifik dengan kekuatannya yang luar biasa.

Kekuatan magnitudo 8,8 tersebut sama dengan gempa Ekuador-Kolombia pada 1960 yang mengakibatkan sekitar 1.000 orang meninggal dunia terutama di kawasan pesisir kedua negara, serta gempa Chili 2010 yang tercatat menewaskan 525 orang.

Kendati demikian, yang mengejutkan dunia, pada gempa Kamchatka 2025 tidak ada korban jiwa yang merupakan dampak langsung dari getaran gempa atau gelombang tsunami yang terjadi akibat gempa bumi akbar tersebut.

Kabar tidak adanya korban jiwa secara langsung itu mengindikasikan sebagai sebuah kemenangan kesiapsiagaan, sistem peringatan dini, koordinasi lintas batas, dan budaya ketahanan global yang terus berkembang.

Dalam banyak hal, momen ini menunjukkan betapa jauhnya kemajuan dunia sejak terjadinya gempa dan tsunami Samudera Hindia pada 2004, ketika lebih dari 230.000 orang tewas di seluruh Asia, termasuk di Indonesia, banyak di antaranya yang meregang nyawa tanpa peringatan.

Gempa Kamchatka 2025 (yang merupakan gempa terkuat di Rusia sejak 1952) terjadi pada pukul 11.24 waktu setempat (6.24 WIB), memiliki pusat gempa sekitar 120 kilometer tenggara Petropavlovsk-Kamchatsky di kedalaman sekitar 19 hingga 20 kilometer.

Gempa tersebut juga dilaporkan memicu gelombang tsunami setinggi 5 meter di beberapa wilayah pesisir Semenanjung Kamchatka, serta membanjiri pelabuhan dan merusak pabrik pengolahan ikan, fasilitas listrik, dan bangunan sipil.

Setelah getaran fantastis itu terjadi, di seberang Pasifik, negara-negara merespons dalam hitungan yang cepat. Badan Meteorologi Jepang segera mengeluarkan peringatan tsunami dan mengevakuasi hampir dua juta orang dari wilayah pesisir, serta menghentikan sementara operasi di pabrik-pabrik dan PLTN Fukushima sebagai tindakan pencegahan.

Di Hawaii, pihak berwenang memerintahkan evakuasi dari garis pantai yang rentan dan menangguhkan operasi pelabuhan, sembari memperingatkan adanya aktivitas gelombang yang dapat berlangsung berjam-jam.

Sedangkan di Indonesia, berbagai lembaga terkait memastikan kesiapan skema evakuasi dan penanganan pengungsian untuk mengantisipasi terjadinya eskalasi dari potensi tsunami yang berlaku aktif di lima provinsi (Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat).

Selain itu, di Amerika Latin, otoritas Chili dilaporkan meluncurkan evakuasi sipil terbesarnya, mengevakuasi 1,4 juta orang ke tempat aman.


Efektivitas kecepatan kesiapsiagaan global

Meskipun ada peringatan global dan mobilisasi skala besar, tidak ada korban jiwa yang dilaporkan terjadi akibat dampak langsung dari gempa dahsyat tersebut, yang menggarisbawahi efektivitas kesiapsiagaan internasional yang cepat.

Masih terngiang bahwa pada tanggal 26 Desember 2004 silam, sebuah gempa bumi bawah laut berkekuatan 9,1 skala Richter melanda lepas pantai Sumatera, Indonesia, hingga memicu salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah.

Tsunami yang diakibatkan gempa sangat dahsyat itu menyapu Samudera Hindia, menghantam 14 negara dan menewaskan lebih dari 230.000 orang. Sejumlah wilayah seperti Aceh, Sri Lanka, India, dan Thailand, banyak yang daerahnya ditemukan rata dengan tanah.

Tragedi itu terjadi tanpa peringatan sama sekali. Sebagian besar penduduk pesisir belum pernah mendengar tentang tsunami sebelumnya, dan ketiadaan sistem peringatan dini regional membuat segelintir orang yang merasakan bahaya tidak memiliki cara terstruktur untuk memperingatkan orang lain.

Tidak bisa terhindarkan bahwa bencana 21 tahun silam itu telah menyingkapkan kerentanan global terhadap kekuatan alam yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Untuk itu, bencana tahun 2004 tersebut menjadi momen penentu bagi kesiapsiagaan bencana internasional.

Setelahnya, komunitas global berkolaborasi untuk mengembangkan sistem peringatan dini yang tangguh. Negara-negara berinvestasi dalam stasiun pemantauan seismik, pelampung tsunami, jaringan penyiaran darurat, dan protokol evakuasi terkoordinasi.

Sementara lembaga-lembaga seperti PBB, UNESCO, dan kemitraan regional memprioritaskan kampanye pendidikan dan pengembangan kapasitas. Sejumlah negara seperti Jepang dan Amerika Serikat menjadi pemimpin kunci dalam ketahanan bencana regional, menawarkan pelatihan, teknologi, dan berbagi data terkait bencana.

Tidak jarang pula ada pelatihan terhadap masyarakat guna mengajari mereka mengenai cara mengenali tanda-tanda tsunami, hingga infrastruktur pesisir yang bisa diperkuat untuk meminimalkan kerusakan.

Kurva pembelajaran global inilah yang mengubah gempa bumi besar Kamchatka pada Juli 2025 menjadi "non-bencana". Meskipun kekuatannya menyaingi gempa tahun 2004, kali ini sistemnya berfungsi dengan baik dan penerapannya berjalan dengan lancar.

Seismometer mendeteksi gempa secara instan, memicu peringatan tsunami otomatis di seluruh Pasifik. Negara-negara seperti Jepang, Chili, Amerika Serikat, dan Rusia menerapkan evakuasi secara langsung dan menutup operasi yang rentan dalam hitungan menit.

Kesadaran publik, protokol yang terlatih, dan kerja sama internasional telah memungkinkan jutaan orang untuk pindah ke tempat aman secara efisien. Dalam hal ini, faktor sains, koordinasi, dan persiapan secara kolektif mengubah apa yang tadinya merupakan tragedi global menjadi bukti kemajuan manusia.


Indonesia masih berisiko tinggi

Indonesia, yang terletak di sepanjang Cincin Api yang rentan, masih berisiko tinggi terhadap gempa bumi dan tsunami besar. Sejumlah ahli juga telah memperingatkan bahwa wilayah pesisir yang padat penduduk seperti Sumatera bagian barat, Jawa bagian selatan, dan Indonesia bagian timur rentan terhadap bencana dengan skala yang sama dengan tsunami 2004.

Patut diapresiasi bahwa sejak 2004, Indonesia dinilai telah mencapai kemajuan dalam pengurangan risiko bencana, seperti pengembangan InaTEWS (Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia), peningkatan jumlah stasiun pemantauan seismik, dan simulasi bencana nasional telah membantu mengurangi risiko kerentanan.

Selain itu, kampanye edukasi publik dan penguatan kelembagaan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) telah meningkatkan kesiapsiagaan, terutama di wilayah berisiko tinggi.

Namun, masih terdapat kesenjangan yang serius. Sistem peringatan dini masih dilaporkan ada yang terkadang masih mengalami keterlambatan, sirene tidak dipasang secara merata di wilayah-wilayah terpencil, dan infrastruktur bencana tidak memadai di banyak komunitas pesisir dan kepulauan.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, Indonesia harus betul-betul berinvestasi dalam memodernisasi teknologi dan infrastruktur kebencanaannya, termasuk dalam peningkatan dan pemeliharaan pelampung tsunami, sensor seismik, dan sistem komunikasi berbasis satelit yang dapat berfungsi bahkan ketika jaringan tradisional terputus.

Untuk itu, perlu dipastikan efektifnya sistem daya cadangan untuk semua stasiun peringatan dan berinvestasi dalam sistem peringatan otomatis yang terhubung ke jaringan seluler.

Kemudian, bangunan evakuasi vertikal harus dapat dibangun dalam jumlah memadai di wilayah pesisir datar yang rentan, dengan struktur yang dirancang untuk menahan getaran dan banjir bandang, sehingga berpotensi dapat menyelamatkan banyak nyawa jika dataran tinggi alami tidak tersedia saat terjadi tsunami mendadak.

Yang sama pentingnya adalah membangun budaya kesiapsiagaan dan kesadaran di seluruh lapisan masyarakat Indonesia, sehingga pendidikan kebencanaan harus benar-benar dipastikan dimulai sejak dini di sekolah dan diintegrasikan ke dalam kurikulum, dengan latihan dan simulasi tahunan di setiap wilayah rentan.

Selain itu, kampanye di berbagai sarana media juga harus untuk digencarkan guna memperkuat kesadaran, tidak hanya setelah bencana terjadi, tetapi terus-menerus, untuk menanamkan respons refleksif dan disiplin kolektif ketika getaran pertama terasa atau sirene peringatan mulai berbunyi.

Indonesia harus memperkuat pula hubungannya dengan mitra regional dan internasional dalam kesiapsiagaan bencana, yang mencakup kolaborasi yang lebih erat lagi dengan Jepang, Australia, dan Amerika Serikat dalam dukungan teknologi, berbagi pengetahuan, dan pengembangan kapasitas.

Kerja sama di seluruh ASEAN melalui platform seperti AHA Centre dapat memperkuat respons bencana lintas batas, serta partisipasi dalam kerangka kerja peringatan dini dan ketahanan PBB juga krusial. Latihan gabungan, berbagi data, dan protokol pengawasan tsunami terkoordinasi di Samudera Hindia dan Pasifik dapat membantu memastikan bahwa tidak ada negara, termasuk Indonesia, yang menghadapi bencana sendirian atau tanpa persiapan di saat-saat genting.

Gempa bumi Kamchatka 2025 perlu menjadi pelajaran mengenai pentingnya faktor kesiapan, karena di banyak negara ternyata terbukti sistem peringatan dini yang berfungsi, pemerintah bertindak cepat, dan warga tahu apa yang harus dilakukan.

Sudah dipahami bersama bahwa kawasan Cincin Api masih terus bergejolak, sehingga kewaspadaan untuk tidak lengah harus dijaga dan ditingkatkan. Ketika terjadi gerakan pergeseran lempeng bumi, maka Indonesia telah dan akan selalu siap dalam menghadapi ujian kekuatan alam itu. Mitigasi bencana menjadi bagian penting bagi Indonesia yang berada di kawasan rawan bencana.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |