Jakarta (ANTARA) - Forum Human Capital Indonesia (FHCI) mendorong pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) yang beretika, efisien, dan berorientasi pada pengembangan manusia dalam upaya transformasi BUMN.
“AI justru membuat manusia lebih efisien, lebih cerdas, dan lebih cepat beradaptasi terhadap perubahan,” ujar Kepala Satuan Digital dan Teknologi Informasi PT PLN (Persero) Pratama Adieputro Suseno dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Ia menegaskan bahwa penerapan AI tidak akan menggantikan peran manusia, melainkan memperkuat kemampuan dan efisiensi kerja pegawai.
“Di PLN, kami menerapkan AI hampir di seluruh lini manajemen, mulai dari perencanaan organisasi, produktivitas, hingga pengelolaan pelatihan dan kesejahteraan pegawai,” katanya.
Pratama mencontohkan penerapan Knowledge Smart Assistant for Training Recommendation and Intelligent Acceleration (KESATRIA), sistem berbasis AI yang dikembangkan PLN untuk merekomendasikan pelatihan sesuai kebutuhan individu pegawai.
“AI ini membantu pegawai dan pengajar menemukan materi yang relevan secara cepat dan personal, tanpa harus mencari manual di sistem,” ujar dia.
Sementara itu, SEVP Human Capital PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Steven A. Yudiyantho menyoroti tantangan etika dalam penerapan AI di proses rekrutmen. Menurutnya, perusahaan harus memastikan keputusan berbasis AI tetap transparan dan tidak menimbulkan diskriminasi.
Baca juga: FHCI dorong transformasi SDM hadapi era AI
“AI memang mempercepat proses rekrutmen, tetapi tetap harus ada kontrol manusia untuk mencegah bias sistemik. Semakin banyak kita menggunakan AI, semakin besar pula kebutuhan untuk menghumanisasi proses HR,” kata Steven.
Dari sisi kebijakan nasional, Sekretaris Deputi Bidang Perniagaan dan Ekonomi Digital Kemenko Perekonomian Pujo Setio menekankan pentingnya membangun tata kelola dan ekosistem AI yang beretika di Indonesia.
Baca juga: FHCI dorong optimalisasi Individual Development Plan dengan AI
Ia menyebut bahwa meski adopsi AI berkembang pesat, pemanfaatannya masih didominasi untuk konten kreatif dibanding inovasi produktif.
“Pemerintah terus memperkuat program pelatihan dan literasi digital agar masyarakat memahami etika dan risiko dari penggunaan AI. Ke depan, pengembangan talenta digital akan menjadi kunci untuk memastikan transformasi berjalan inklusif dan aman,” ujarnya.
Sementara itu, Professor Simon Tanner dari King’s College London mengingatkan agar organisasi tidak terjebak dalam apa yang ia sebut sebagai Digital Death Spiral, yakni kondisi ketika pengambil keputusan mengandalkan hype dan dogma teknologi tanpa dasar bukti yang kuat.
“Banyak organisasi mengadopsi AI hanya karena tren, bukan karena kebutuhan yang jelas. Padahal, keberhasilan transformasi digital bergantung pada pemahaman data, pengukuran dampak, dan pengembangan kompetensi manusia,” ujar Simon.
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Evi Ratnawati
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































