Ekonomi sirkular, dari paradoks efisiensi ke masa depan berkelanjutan

1 week ago 6

Jakarta (ANTARA) - Dalam pusaran wacana pembangunan berkelanjutan, sirkular ekonomi hadir sebagai antitesis dari model ekonomi linear yang selama ini dikenal luas, yakni ambil, buat, buang.

Gagasan ini bukan sekadar perombakan teknis dalam rantai produksi, melainkan sebuah revolusi fundamental yang menuntut dukungan politik dan kepemimpinan yang kuat.

Dari kebijakan pusat hingga tingkat paling bawah, dari regulasi ketat hingga edukasi sejak dini, sirkular ekonomi membutuhkan tatanan yang terstruktur dan eksekusi yang konsisten. Tanpa itu, ia tak lebih dari ilusi.

Sejarah mencatat bahwa transformasi ekonomi tidak pernah berjalan tanpa resistensi. Begitupun perkara efisiensi anggaran yang sedang diterapkan di Indonesia. Polemik yang beredar, seperti paradoks yang memang memerlukan prinsip kehati-hatian sangat tinggi.

Sebagaimana IMF sering membahas dampak kebijakan penghematan fiskal (fiscal austerity) terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dalam laporan "Fiscal Austerity and Growth: The Role of Policies and Institutions" (IMF, 2015) disebutkan bahwa pemangkasan anggaran yang tidak disertai strategi yang matang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, terutama jika dilakukan di tengah ketidakstabilan ekonomi.

Dalam bukunya "The Price of Inequality" dan berbagai publikasinya, Stiglitz berargumen bahwa kebijakan penghematan yang terlalu ketat seringkali memperburuk ketimpangan ekonomi dan menghambat inovasi.

Sebagai profesor di Columbia University, Stiglitz telah menerbitkan berbagai kajian tentang bagaimana pemotongan anggaran publik dapat merugikan inovasi dan investasi dalam sektor-sektor penting, seperti riset dan teknologi.

Faktanya memang, di balik angka-angka yang diberikan, ada jaringan ekonomi bawah tanah yang selama ini menopang keberlangsungan ekonomi informal.

Dalam dunia bayangan inilah kreativitas tumbuh, birokrasi dilompati, dan solusi-solusi pragmatis lahir dari keterbatasan.

Terlebih semua mafhum bahwa krisis seringkali menjadi ibu kandung inovasi. Ketika arus uang dari sektor informal tiba-tiba terhenti akibat regulasi yang lebih ketat, di sinilah semua akan melihat apakah ekosistem sirkular ekonomi bisa menjadi penyelamat.

Transisi ini harus dikelola dengan bijak. Jika pemangkasan anggaran terlalu drastis, tanpa insentif bagi sektor inovasi, yang terjadi bukan percepatan pembangunan, melainkan stagnasi.

Bayangkan jika seorang perajin plastik daur ulang di pelosok yang selama ini bekerja tanpa izin formal, tiba-tiba terhambat karena regulasi baru, sementara di sisi lain birokrasi untuk mendapatkan izin tetap panjang dan berbelit.

Lalu, bagaimana menyeimbangkan ini? Studi dari Ellen MacArthur Foundation menunjukkan bahwa negara-negara yang sukses dalam mengimplementasikan sirkular ekonomi memiliki satu kesamaan utama, yakni harmonisasi antara kebijakan, insentif, dan edukasi.

Belanda, misalnya, telah lama menerapkan pajak atas bahan baku virgin untuk mendorong penggunaan material daur ulang.

Jerman, dengan sistem Pfand, sukses mengurangi limbah botol plastik melalui skema deposit-refund. Jepang, dengan kebijakan Sound Material-Cycle Society, membangun kebiasaan masyarakatnya untuk memilah dan mendaur ulang sampah sejak dini.


Sirkular ekonomi

Indonesia berada dalam titik persimpangan. Negeri ini memiliki kekuatan demografi dengan bonus generasi muda yang kreatif. Namun, tanpa birokrasi yang efisien dan regulasi yang memberi ruang bagi inovasi, sirkular ekonomi hanya akan menjadi retorika.

Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan bahwa kebijakan tidak hanya hadir dalam bentuk aturan, tetapi juga dalam bentuk ekosistem yang memungkinkan setiap individu untuk berpartisipasi.

Jika hendak mengambil jalan sirkular ekonomi dengan serius, maka kepemimpinan politik harus mampu menjembatani kepentingan berbagai pihak.

Tidak cukup hanya dengan regulasi dari atas, namun perubahan budaya harus dimulai dari bawah. Pendidikan sejak dini tentang konsumsi berkelanjutan, pola pikir desain ulang produk, dan kebiasaan memilah sampah bukan sekadar tambahan kurikulum, tetapi harus menjadi bagian dari keseharian.

Di sisi lain, regulasi juga harus memberikan dorongan kepada pelaku usaha. Jika ingin sektor industri beralih ke model sirkular, maka mereka harus melihat insentif yang jelas.

Perizinan untuk usaha berbasis ekonomi sirkular harus lebih sederhana dibanding usaha konvensional. Kredit usaha mikro untuk inovasi berbasis daur ulang harus lebih mudah diakses dibandingkan skema pembiayaan bisnis biasa.

Pemerintah juga perlu mencontoh pendekatan Korea Selatan dalam memanfaatkan teknologi digital untuk memantau limbah dan mendukung ekonomi berbasis data dalam pengelolaan material bekas.

Yang lebih penting, dalam transisi ini, semua harus memastikan bahwa pemangkasan anggaran tidak berarti mematikan inovasi. Jika sirkular ekonomi adalah tujuan, maka segala kebijakan harus diarahkan untuk membuka ruang bagi kreasi.

Bayangkan jika setiap pemuda Indonesia memiliki akses terhadap teknologi daur ulang yang canggih, dapat berkolaborasi dengan pemerintah dalam skema ekonomi kreatif, dan tidak terhambat oleh birokrasi yang kaku.

Maka transisi dari shadow economy ke ekonomi yang lebih formal tidak akan terasa sebagai guncangan, melainkan sebagai lompatan maju.

Bangsa ini perlu mengakui bahwa tidak semua transisi bisa berjalan mulus. Akan ada pihak-pihak yang merasa kehilangan, ada bisnis yang harus beradaptasi atau mati.

Namun, dengan kepemimpinan politik yang kuat dan regulasi yang adaptif, Indonesia bisa menjadi model sukses dalam penerapan ekonomi sirkular.

Sebab pada akhirnya, seperti yang dikatakan Buckminster Fuller, kita tidak bisa mengubah sistem lama dengan melawannya. Kita harus membangun model baru yang membuat sistem lama menjadi usang.

Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |