Jakarta (ANTARA) - Ekonom Defiyan Cory memberikan apresiasi terhadap kinerja keuangan PT PLN selama semester I 2025 yang menunjukkan peningkatan dibanding periode yang sama 2024.
Dia mengungkapkan berdasarkan laporan keuangan semester I 2025 yang dipublikasikan melalui Bursa Efek Indonesia (BEI), PLN mencatatkan pendapatan sebesar Rp281 triliun, meningkat dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp262 triliun.
Penjualan tenaga listrik menjadi penyumbang utama dengan nilai Rp179,58 triliun, naik 4,53 persen dibanding semester I 2024.
Sepanjang tahun 2024, lanjut Defiyan dalam keterangannya di Jakarta, Senin, BUMN tersebut juga mencatat pendapatan sebesar Rp545,4 triliun, tumbuh 11,9 persen secara tahunan dari Rp487,38 triliun pada 2023.
"Kinerja keuangan PLN yang bagus ini tidak lepas dari kemampuan perusahaan mengelola utang," katanya.
Dia melanjutkan, laba usaha semester I 2025 mencapai Rp30 triliun, naik 7,1 persen dari Rp28 triliun di periode yang sama tahun sebelumnya.
Selain itu, Defiyan menjelaskan, total aset PLN per Juni 2025 tercatat Rp1.796,64 triliun, meningkat dari Rp1.772,37 triliun pada akhir 2024.
Di sisi lain, total utang PLN mencapai Rp734,26 triliun, terdiri dari utang jangka pendek Rp195,12 triliun dan utang jangka panjang Rp539,14 triliun.
"Rasio utang terhadap aset PLN tercatat masih di bawah 50 persen, sementara rasio utang terhadap ekuitas sebesar 69,1 persen, yang masih berada dalam batas wajar untuk perusahaan berskala besar," katanya.
Oleh karena itu ia menilai kritik terhadap utang PT PLN (Persero) yang menyebutnya sebagai beban harian tidak sepenuhnya tepat dan berisiko menimbulkan disinformasi publik.
“Utang korporasi tidak bisa disamakan dengan utang pribadi atau rumah tangga, karena memiliki struktur dan fungsi yang berbeda,” ujarnya.
Meski demikian, Defiyan menyoroti tingginya beban usaha PLN, khususnya biaya bahan bakar dan pelumas sebesar Rp94 triliun serta pembelian tenaga listrik Rp91 triliun.
Ia menilai perlu ada intervensi kebijakan dari pemerintah, terutama terkait kontrak Take Or Pay (TOP) yang dinilai membebani keuangan PLN.
Selain itu, ia juga mengusulkan agar seluruh transaksi energi primer di dalam negeri diwajibkan menggunakan mata uang Rupiah, guna menghindari kerugian akibat fluktuasi kurs valuta asing.
Menurutnya, beban selisih kurs selama ini lebih banyak ditanggung BUMN seperti PLN dan Pertamina, sementara sektor keuangan justru memperoleh keuntungan.
“Stabilitas keuangan PLN harus didukung dengan kebijakan fiskal dan moneter yang konsisten, agar tidak menimbulkan beban tambahan dari luar sistem manajemen perusahaan,” katanya.
Baca juga: PLN lakukan sejumlah langkah hadapi pelemahan rupiah
Baca juga: PLN setor dividen Rp3,09 triliun kepada negara
Baca juga: PLN dinilai semakin matang menjalankan usaha
Pewarta: Subagyo
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.