Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendukung gerakan anak-anak muda yang mempertimbangkan kembali menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) tanpa terlalu banyak pesta.
Deputi Bidang Pengendalian Kependudukan Kemendukbangga/BKKBN Bonivasius Prasetya Ichtiarto saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat, mengemukakan pentingnya pasangan mengutamakan menggunakan uang untuk cek kesehatan agar bisa mengetahui kondisi satu sama lain.
"Jadi kalau yang benar itu, sebelum menikah, mohon maaf kalau saya pakai contoh saya sendiri, saya dan calon istri dulu ke rumah sakit, cek semuanya. Nah, ini yang harus kita tingkatkan, sehingga uang yang kita siapkan (untuk menikah) habis untuk itu dulu," katanya.
Ia mengingatkan, BKKBN juga sebelumnya mengampanyekan daripada tabungan pasangan habis untuk foto pre-wedding atau hal-hal lain yang kurang penting untuk persiapan pernikahan, akan lebih baik mempersiapkan untuk kesehatan, sehingga ke depan apabila memiliki anak tidak lahir stunting.
Baca juga: Kemendukbangga: Disparitas angka kelahiran total perlu jadi perhatian
"Bukan buat pre-wedding dan macam-macam, sehingga kalau menikah ke KUA, dalam konteks ekonomi mungkin ada dua ya, kalau memang uangnya enggak cukup, yang penting kan sah di situ, secara agama dan secara pemerintah," tuturnya.
Bonivasius juga mengemukakan, pasangan tidak perlu mengedepankan gengsi ketika akan melangsungkan pernikahan. Kini, teknologi juga telah memudahkan orang untuk berkomunikasi, yang dapat menekan pengeluaran biaya, misalnya dengan memanfaatkan media sosial (medsos).
"Masalah agar diketahui orang kan, kalau sekarang medsos tinggal lempar saja di sana, untuk memberi tahu mereka (keluarga atau teman) kalau sudah sah begitu lho, bagi saya sih, enggak masalah seperti itu. Sekarang juga undangan, mana ada undangan cetak, kan? Cukup dengan link, dan mengundang orang-orang terdekat saja," paparnya.
Ia juga memaparkan salah satu survei yang dilakukan oleh Dana Kependudukan Dunia atau UNFPA, bahwa kini ada pergeseran nilai tentang keinginan untuk memiliki anak. Salah satu alasan terbesar pasangan memutuskan anak memiliki anak lebih sedikit yakni keterbatasan finansial (39 persen).
"Ya, kalau itu memang sekarang sudah mulai bergeser karena tekanan ekonomi, seperti hasil survei yang sudah dilakukan. Kalau dulu, banyak anak, banyak rezeki, sekarang bagaimana banyak rezeki? Apa-apa mahal, gitu, terlihat dari survei," ucapnya.
Baca juga: Kemendukbangga sebut pentingnya jaminan ekonomi atasi "childfree"
Baca juga: Kemendukbangga respons isu 34,6 juta pasangan di Indonesia kohabitasi
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.