Jakarta (ANTARA) - Banyak orang yang menganggap berbagai patung di Jakarta hanyalah sekadar hiasan kota. Padahal sejatinya, setiap karya tersebut menyimpan makna, pesan, bahkan fungsi tersendiri.
Salah satu patung yang paling menonjol adalah Tugu Tani, patung perunggu yang berdiri kokoh di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Patung ini secara resmi bernama Patung Pahlawan. Namun, masyarakat lebih mengenalnya dengan nama Tugu Tani atau patung Pak Tani.
Nama tersebut mengacu pada bentuk Tugu Tani, yakni menampilkan sosok seorang wanita bersanggul dengan balutan kebaya. Ia digambarkan sedang menyerahkan bekal kepada seorang pria bercaping—penutup kepala yang biasa digunakan petani Indonesia—yang membawa senjata laras panjang.
Lantas, bagaimana Tugu Tani bisa berada di tempatnya berdiri sekarang? Simak pembahasan berikut ini.
Baca juga: Wisata edukatif bareng keluarga, coba museum ini di Jakarta Pusat
Asal usul patung Tugu Tani
Pendirian Tugu Tani bermula pada tahun 1960, ketika Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, melakukan kunjungan ke Uni Soviet (kini Rusia).
Saat itu, Presiden Soekarno terpukau dengan berbagai patung yang berada di Uni Soviet. Oleh karena itu, ia memerintahkan Adam Malik—Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet masa itu—untuk mencari pematung asal negara tersebut.
Kemudian, pemimpin Uni Soviet pada saat itu, Nikita Khruschev, memperkenalkan dua seniman patung terkenal bernama Matvei Manizer dan anaknya, Otto Manizer.
Ide pembuatan Tugu Tani ini langsung berasal dari Sang Proklamator, yakni menceritakan perjuangan rakyat yang membantu militer dalam pembebasan Irian Barat dari cengkraman Belanda.
Ide tersebut diwujudkan oleh Ayah-Anak Manitzer menjadi Patung Pahlawan atau kerap disebut Tugu Tani yang sampai saat ini masih berdiri kokoh.
Secara simbolik, Tugu Tani menceritakan seorang ibu yang rela melepaskan anaknya untuk maju berperang dalam pembebasan Irian Barat.
Baca juga: DKI libatkan BUMD dalam setiap kegiatan perfilman
Dianggap sebagai simbol komunisme
Patung yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 1963 sebagai bukti persahabatan antara Indonesia dan Uni Soviet kala itu, sempat diusulkan untuk dirobohkan karena dianggap sebagai lambang komunis.
Anggapan itu muncul karena Tugu Tani menampilkan figur seorang petani yang memanggul senjata. Beberapa pihak kemudian menafsirkannya secara keliru sebagai simbol Angkatan Kelima, yakni gagasan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani.
Patung yang terletak di persimpangan Jalan Menteng Raya dan Jalan Prapatan, Jakarta Pusat ini masih tegak berdiri dan menjadi bagian dari sejarah.
Seperti kutipan Presiden Soekarno yang tertulis di alas patung, Tugu Tani menjadi pengingat bahwa perjuangan kemerdekaan bukan hanya milik tokoh-tokoh besar, tapi juga rakyat biasa, termasuk petani.
“Hanja bangsa jang menghargai pahlawan-pahlawannja dapat menjadi bangsa jang besar”.
Baca juga: Petani Deli Serdang kembali 'long march' ke Tugu Tani
Baca juga: Menjelajah tempat bersejarah di ujung utara kota Jakarta
Pewarta: Nadine Laysa Amalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.