Jakarta (ANTARA) - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan bahwa bank sentral terus mencermati ruang untuk penurunan suku bunga acuan atau BI-Rate dengan mempertimbangkan prospek inflasi hingga stabilitas nilai tukar rupiah.
“Kami meyakini inflasi yang rendah, termasuk inflasi inti (Maret 2025) yang 2,5 persen itu, membuka ruang bagi penurunan BI-Rate lebih lanjut,” kata Perry dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Bulan April 2025 di Jakarta, Rabu.
Ia menambahkan bahwa dalam jangka pendek, prioritas BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Setelah stabilitas nilai tukar tetap bisa terjaga, ujar Perry, ruang penurunan suku bunga semakin terbuka dan saat itu menjadi momentum untuk menentukan kebijakan suku bunga lebih lanjut.
Perry meyakini nilai tukar rupiah akan bergerak stabil. Dalam hal ini, BI terus melakukan asesmen tidak hanya bagaimana menjaga level nilai tukar tetapi juga kesetaraannya dengan nilai tukar negara-negara mitra dagang utama Indonesia atau peer country.
Ia mengatakan saat ini nilai tukar rupiah terkendali. Namun pada saat libur Lebaran, nilai tukar rupiah sempat mengalami tekanan yang kuat bahkan menyentuh Rp17.400 di pasar Hong Kong dan Eropa, seiring dengan kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Amerika Serikat (AS).
“Oleh karena itu kami menyelenggarakan Rapat Dewan Gubernur pada 7 April 2025 secara sah, meskipun libur pada Liburan karena kondisi global yang memerlukan itu. Dan kami putuskan untuk melakukan intervensi non delivery forward (NDF) di pasar offshore luar negeri secara berkesinambungan, di Hongkong, Eropa, Amerika secara around the clock around the world,” kata Perry.
Selain itu, BI juga tetap melakukan strategi triple intervention pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder untuk menstabilkan rupiah.
Sejak awal tahun 2025 hingga 22 April 2025, BI telah membeli SBN dengan total Rp80,98 triliun yang dilakukan melalui pasar sekunder sebesar Rp54,98 triliun serta pasar primer dalam bentuk Surat Perbendaharaan Negara (SPN), termasuk syariah, sebesar Rp26 triliun.
“Ini adalah salah satu langkah tidak hanya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, koordinasi erat dengan kebijakan fiskal, tapi juga memastikan intervensi di pasar valas tidak menimbulkan kekeringan likuiditas rupiah. Inilah kebijakan kami untuk menjaga kecukupan likuiditas,” kata Perry.
Ia mengatakan bahwa kebijakan tarif resiprokal AS menimbulkan ketidakpastian pasar keuangan global yang sangat tinggi.
“Tidak hanya terkait dengan yield US Treasury maupun pergerakan nilai tukar mata uang, tapi terutama preferensi risiko, risk appetite, yang sangat-sangat memburuk dari para investor global karena berbagai ketidakpastian yang sangat tinggi itu,” ujar Perry.
Ia mencatat terjadi perubahan pola arus portofolio investasi di pasar keuangan global. Aliran modal dari AS bergeser ke negara dan aset keuangan yang dianggap aman.
Investor global mengalihkan dananya ke obligasi negara-negara selain AS seperti Eropa dan Jepang. Selain itu, investor juga mengamankan asetnya ke komoditas emas.
“Aliran modal keluar dari emerging market, baik dari obligasi maupun dari saham. Dan ini yang menyebabkan tekanan pelemahan mata uang dari berbagai negara. Tentu saja dampak (tarif AS) dari jalur finansial di masing-masing negara akan tergantung pada kondisi masing-masing negara dan respon masing-masing negara,” kata Perry.
BI melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulan April 2025 yang digelar pada Selasa (22/4) dan Rabu (23/4) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI-Rate tetap berada pada level 5,75 persen.
Baca juga: Rupiah melemah karena likuiditas perekonomian domestik sangat ketat
Baca juga: BI yakin inflasi tetap terkendali sesuai sasaran pada 2025 dan 2026
Baca juga: BI: BI-Rate 5,75 persen untuk jaga inflasi hingga pertumbuhan ekonomi
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025