Jakarta (ANTARA) - Sebagian orang kerap mengidentikkan kehidupan di desa sebagai kehidupan yang jauh dari kecukupan ekonomi, jauh dari penerangan, jauh dari kecanggihan teknologi, bahkan jauh dari sumber air bersih.
Gambaran-gambaran seperti itu dapat dimaklumi mengingat data Badan Pusat Statistik (BPS) pun menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di pedesaan bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di perkotaan.
Data BPS per September 2024 menunjukkan bahwa dari total 24,06 juta orang yang berada di bawah garis kemiskinan, tingkat kemiskinan di pedesaan Indonesia mencapai 11,3 persen. Angka itu bernilai lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di perkotaan yang bernilai sebesar 6,66 persen.
Persoalan kemiskinan dan ketertinggalan di desa nyatanya diakui pula oleh Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto.
Yandri mengungkapkan bahwa per tahun 2024, masih terdapat sekitar 10.463 desa yang menyandang status tertinggal dan sangat tertinggal. Lalu, masih terdapat pula 3.246 desa yang tidak berlistrik, 9,99 juta keluarga tidak dapat mengakses listrik. Bahkan listrik di desa terpencil hanya beroperasi di bawah 24 jam per hari. Selain itu, juga ada sebanyak 22.544 desa yang masih kesulitan mengakses internet.
Kemiskinan di desa pun nyatanya bukan sekadar angka dalam statistik, melainkan juga realitas pahit yang memang dialami masyarakat. Namun, di balik beragam persoalan itu, terdapat harapan pembenahan yang terus tumbuh.
Menurut Yandri, pemerintah tidak tinggal diam dalam menghadapi persoalan-persoalan di desa-desa di tanah air itu. Dalam Astacita ke-6, Presiden Prabowo Subianto telah menargetkan pembangunan dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi serta pemberantasan kemiskinan.
Dengan beragam program pemerintah, inisiatif masyarakat, dan sinergi berbagai pihak, Yandri mengaku optimistis desa-desa yang masih dijerat kemiskinan dan ketertinggalan akan bangkit, mengubah “air mata kemiskinan” menjadi "air mata kebahagiaan”.
Dana desa sebagai akar perubahan
Salah satu solusi yang telah dihadirkan oleh pemerintah demi membawa kemajuan di seluruh desa adalah pengguliran dana desa. Sejak awal digulirkan pada 2015, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal menyatakan sebanyak Rp610 triliun dana desa digulirkan oleh pemerintah sebagai instrumen pemerataan ekonomi.
Untuk memastikan pemanfaatan dana desa mampu berdampak pada kesejahteraan masyarakatnya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal pun telah memberikan panduan alokasi dana desa melalui Peraturan Menteri Desa.
Peraturan Nomor 2 Tahun 2024 tentang Petunjuk Operasional Atas Fokus Penggunaan Dana Desa 2025 itu diharapkan mampu menjadi acuan bagi para pemerintah desa dalam mewujudkan percepatan kesejahteraan masyarakat desa.
Selain menghadirkan pedoman, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal juga berupaya meningkatkan pengawasan pemanfaatan dan tata kelola dana desa dengan menggandeng Kejaksaan Agung. Kerja sama kedua belah pihak itu diharapkan dapat mendorong tercapainya pemerataan pembangunan di tingkat desa melalui penyaluran dana desa.
Salah satu kisah sukses pemanfaatan dana desa telah datang dari Desa Ponggok, Klaten, Jawa Tengah. Dengan memanfaatkan dana desa untuk pengembangan Badan Usaha Milik Swa (BUMDes) bernama BUMDes Tirta Mandiri Ponggok, desa tersebut berhasil memiliki unit usaha unggulan, yakni wisata air tawar Umbul Ponggok.
Menurut Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono, pemanfaatan dana desa memang sepatutnya diutamakan untuk pemberdayaan ekonomi dan pembangunan infrastruktur desa. Dengan demikian, tujuan penyejahteraan masyarakat desa pun dapat terwujud secara optimal melalui keberadaan dana desa.
Sementara itu, anggota Komisi V DPR RI Yanuar Arif Wibowo yang bermitra dengan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, mendorong kreativitas pemerintah desa dalam mengelola serta memanfaatkan dana desa.
Menurut Yanuar, kesejahteraan masyarakat desa dapat dicapai apabila dana desa benar-benar dimanfaatkan untuk mengoptimalkan potensi desa yang ada. Contohnya, desa dengan potensi wisata kuliner dapat mengembangkan potensi tersebut dengan bantuan dana desa.
Kolaborasi membangun desa
Akan tetapi, dana desa bukan merupakan satu-satunya solusi. Percepatan kemajuan desa juga dinilai oleh Menteri Yandri dapat diwujudkan dengan kolaborasi antara pemerintah desa dan pihak dewasa.
Yandri mencontohkan kisah sukses kolaborasi tersebut telah dialami oleh Desa Lung Anai di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Melalui kunjungan kerjanya Yandri mengetahui bahwa Desa Lung Anai berhasil menghadirkan produk unggulan untuk meningkatkan perekonomian masyarakatnya melalui kolaborasi dengan suatu perusahaan.
Produk unggulan itu adalah rumah coklat. Dengan adanya rumah coklat, warga desa yang mayoritasnya merupakan warga suku Dayak itu mengolah bahan mentah kakao menjadi coklat batangan dan coklat kemasan yang bersertifikat halal.
Tidak hanya dengan kolaborasi bersama pihak swasta, perjuangan suatu desa keluar dari garis kemiskinan juga dilakukan dari upaya masyarakat sekitar. Contohnya adalah Desa Kembangbelor, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Desa itu berhasil mengolah lanskap berupa hutan pinus menjadi wisata Camping Ground Bernah De Vallei. Bukan dari pemanfaatan dana desa, pengembangan wisata tersebut dilakukan oleh warga desa dengan sistem patungan.
“Desa-desa yang kami kunjungi telah sukses dan bisa menjadi percontohan bagi desa-desa lainnya," kata Yandri.
Hal itu tidak terlepas dari kolaborasi dengan berbagai pihak, baik pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat. Kolaborasi inilah yang dapat mempercepat pembangunan di desa dan meningkatkan ekonomi desa sehingga masyarakat menjadi semakin sejahtera.
Tahun demi tahun berlalu dan semangat perubahan memajukan desa nyatanya terus menyala. Kekuatan segenap elemen bangsa diyakini bisa mengubah "air mata kemiskinan" di desa menjadi "air mata kebahagiaan".
Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025