Jakarta (ANTARA) - Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) menilai target dalam Nota Keuangan Rancangan Anggaran dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto kepada DPR (15/8), cukup moderat dan realistis.
Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu, Ketua Banggar DPR Said Abdullah mengatakan hal itu tampak dari sejumlah angka indikator asumsi ekonomi makro tahun 2026.
Dalam RAPBN 2026, pertumbuhan ekonomi ditargetkan sebesar 5,4 persen, dengan target inflasi di level 2,5 persen, imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun diproyeksikan sebesar 6,9 persen, serta kurs rupiah akan dijaga di level Rp16.500 per dolar Amerika Serikat (AS).
Sementara harga minyak mentah Indonesia ditargetkan sebesar 70 dolar AS per barel, lifting minyak mentah 610 ribu barel per hari (RBPH), dan lifting gas bumi 984 ribu barel setara minyak bumi per hari (RBSMPH).
Baca juga: Prabowo targetkan APBN di 2027 atau 2028 tidak lagi defisit
Said berpendapat usulan atas berbagai angka ekonomi makro tersebut menunjukkan pemerintah memilih jalan moderat atau titik tengah dari angka batas bawah dan atas berdasarkan kesepakatan antara Banggar DPR dengan pemerintah pada kesepakatan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF).
Pilihan angka moderat tersebut, kata dia, menunjukkan pemerintah realistis dalam menghitung tantangan tahun 2026 yang tidak mudah akibat dampak pemberlakuan tarif dari Presiden AS Donald Trump, efek rambatan konflik geopolitik, menurunnya daya beli rumah tangga, serta banyaknya pemberhentian pekerja pada sektor manufaktur.
Di sisi lain, pada rancangan postur APBN 2026, dirinya menuturkan pemerintah lebih memilih batas atas dari pembicaraan awal pada KEM-PPKF, yaitu target pendapatan negara sebesar Rp3.147,7 triliun.
Namun untuk target belanja negara sebesar Rp3.786,5 triliun, sambung dia, menunjukkan pilihan yang berbeda, yakni mengambil angka moderat dari batas bawah dan atas.
"Dengan pilihan ini berkonsekuensi persentase defisit RAPBN 2026 lebih rendah dari tahun 2025, yakni sebesar 2,48 persen setara Rp638,8 triliun," tuturnya.
Baca juga: Target penerimaan tumbuh, RAPBN 2026 patok defisit 2,48 persen
Said menyampaikan tingginya target pendapatan negara yang dipilih oleh pemerintah patut didukung, namun pemerintah harus ekstra hati-hati, terutama dalam kebijakan perpajakan.
Masalahnya, kata dia, saat ini ada sensitivitas tinggi di tengah masyarakat, terutama sentimen negatif atas pengenaan pajak tinggi yang naik signifikan pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang diberlakukan banyak pemerintah daerah (pemda).
Oleh karena itu, diharapkan pemerintah hendaknya berhati-hati dan menimbang ulang jika menempuh kebijakan perluasan perpajakan atau menaikkan tarif perpajakan untuk mengejar target pendapatan.
Ia pun menyarankan agar pemerintah lebih fokus mengejar wajib pajak nakal yang melakukan penghindaran pajak serta memanfaatkan peluang dari perpajakan global pasca kesepakatan di Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), terutama atas beroperasinya berbagai layanan perusahaan multinasional pada lintas negara.
Kemudian, pemerintah juga diminta agar mengoptimalkan pajak karbon sebagai upaya yang sekaligus mendorong transformasi perekonomian nasional lebih ramah lingkungan serta meningkatkan investasi pada sektor sumber daya alam (SDA) agar penerimaan negara dari bagi hasil sektor SDA semakin membesar.
Baca juga: Muhaimin: APBN pada masa Presiden Prabowo berbasis ekonomi kerakyatan
Sementara pada sisi belanja negara, Said mengatakan pemerintah mengambil posisi angka tengah dari pembahasan KEM-PPKF, yang dinilai bisa menekan defisit APBN di bawah 2,5 persen PDB, sehingga kebutuhan pembiayaannya tidak terlalu besar.
Kendati demikian terhadap postur belanja negara, disebutkan bahwa alokasi belanja pusat jauh lebih besar dibandingkan transfer ke daerah dan desa.
Tercatat, rancangan belanja pusat sebesar Rp3.136,5 triliun, sementara pada APBN 2025 sebesar Rp2.701,4 atau naik 435,1 triliun.
Sebaliknya, alokasi transfer ke daerah dan desa malah mengecil menjadi Rp650 triliun dari APBN tahun 2025 sebesar Rp919,9 triliun atau turun Rp269,9 triliun.
Menurut dia, kecenderungan makin memusatnya anggaran negara ke pusat perlu pertimbangkan ulang oleh pemerintah karena di saat yang sama, kewenangan pemda juga semakin mengecil pasca Undang-Undang Cipta Kerja.
"Situasi ini membuat fiskal daerah akan semakin melemah, sehingga inisiatif pembangunan di daerah hanya akan bertumpu pada anggaran pusat," ungkap Said.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.