Jakarta (ANTARA) - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid memastikan keseimbangan kebijakan ketahanan pangan dan investasi berjalan beriringan.
“Semua demi merah putih, demi negara Indonesia. Ada dimensi keadilan antara ketahanan pangan, ketahanan industri, energi, dan penyediaan rumah. Tidak boleh saling mengalahkan, semuanya harus berjalan bersamaan,” ujar Nusron di Jakarta, Rabu.
Dia menyatakan bahwa upaya menjaga ketahanan pangan nasional tidak akan menghambat iklim investasi. Menurutnya, kedua agenda tersebut harus berjalan beriringan demi memastikan pembangunan dan masa depan bangsa tetap berkelanjutan.
Salah satu strategi mewujudkan ketahanan pangan, pemerintah menentukan moratorium alih fungsi lahan sawah. Kebijakan itu dikatakan Menteri Nusron, untuk memastikan pemanfaatan ruang berlangsung secara adil dan terukur, bukan bentuk pembatasan investasi.
Pemerintah menerapkan moratorium sementara untuk mencapai target perlindungan lahan pangan sebesar 87 persen, kecuali bagi 100 kabupaten/kota yang sudah memenuhi target tersebut atau wilayah yang memang tidak memiliki Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD).
“Tugas kami di ATR/BPN adalah menjaga di mana ruang untuk swasembada pangan, di mana ruang energi, di mana ruang untuk pembangunan, dan di mana ruang bagi program Tiga Juta Rumah agar semuanya berjalan harmonis tanpa saling menghambat,” kata Nusron.
Dirinya juga menyampaikan salah satu persoalan dalam penataan ruang, yakni belum selarasnya data antara LSD, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), dan lahan cadangan pangan.
Idealnya, seluruh data tersebut berada dalam satu delineasi agar tidak terjadi tumpang tindih. Namun, kondisi saat ini masih jauh dari ideal sehingga pemerintah sedang melakukan data cleansing hingga Februari 2026 untuk menghasilkan satu peta yang dapat dipakai bersama oleh pemerintah pusat dan daerah.
Ketidaksesuaian data tersebut, menurutnya, sering memunculkan izin-izin baru yang sebenarnya tidak diperlukan. Hal ini dinilai tidak adil, baik bagi pelaku usaha maupun pemerintah daerah.
Karena itu, selama masa moratorium, pemerintah fokus merapikan dan menyelaraskan seluruh data.
“Pada tahap moratorium ini, kami menata semuanya. Dari 100 kabupaten/kota, ada 64 daerah yang datanya sudah rapi. Sisanya, 36 daerah memang tidak memiliki sawah, dan itu kami maklumi. Selanjutnya akan dicari lokasi pengganti lainnya,” ujar Nusron.
Terkait keterlanjuran alih fungsi lahan sawah, Menteri Nusron menyatakan bahwa setiap persoalan memiliki solusi. Daerah yang sudah mencapai 87% LP2B hanya perlu melakukan cleansing data.
Sementara daerah industri yang belum mencapai target memiliki dua opsi, yakni pelaku usaha membeli lahan pengganti untuk dicetak menjadi sawah, atau pemerintah daerah menyediakan lahan cadangan sebagai kompensasi.
Menurut Nusron, yang terpenting adalah tersedianya sawah dan produksi pangan, apa pun skema kepemilikannya dan di mana pun lokasinya.
Dia menegaskan bahwa perdebatan dalam penataan ruang bukan menyangkut struktur ruang, melainkan pola ruang. Menurutnya, manusia membutuhkan rumah, negara membutuhkan industri, namun yang terpenting bangsa harus memiliki sawah agar mampu bertahan, terutama ketika negara-negara di dunia semakin protektif terhadap kebutuhan pangannya.
“Apa yang kami lakukan transparan. Tidak ada yang kami tutup-tutupi,” katanya.
Baca juga: Menteri ATR: 100 kabupaten/kota bebas moratorium alih fungsi lahan
Baca juga: ATR/BPN siapkan lahan huntara penyintas Sumatera di 52 kabupaten/kota
Baca juga: Menteri ATR gratiskan penyintas Sumatera yang urus sertifikat tanah
Pewarta: Aji Cakti
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

















































