Jakarta (ANTARA) - Arif Budimanta adalah satu dari sedikit ekonom Indonesia yang menempatkan dirinya di garis depan pembelaan terhadap sistem ekonomi konstitusi atau yang sering disebut sebagai demokrasi ekonomi, sistem yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.
Sikap ini bukanlah pilihan yang mudah karena berada pada posisi berseberangan dengan arus utama kapitalisme yang telah lama mengakar dan sering kali menguntungkan kelompok elite politik dan ekonomi tertentu.
Namun, keberanian Arif tidak hanya terletak pada konsistensinya dalam membela prinsip, melainkan juga pada kemampuannya merumuskan analisis ekonomi yang tajam dan solutif bagi kepentingan rakyat banyak.
Pertemuan pertama penulis dengan Arif terjadi sekitar delapan tahun lalu, meskipun jejak kiprahnya telah lama dikenal melalui tulisan-tulisannya yang sering muncul di berbagai media.
Setiap gagasannya selalu menghadirkan perspektif berbeda, menembus batas angka-angka statistik dan membuka ruang diskusi baru tentang esensi ekonomi kerakyatan.
Analisisnya tidak hanya kritis, tetapi juga menghadirkan solusi yang menyentuh persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat kecil.
Pandangannya konsisten bahwa ekonomi tidak semata persoalan angka dan grafik, melainkan menyangkut keberlangsungan hidup petani, nelayan, perajin, dan pedagang kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Pertemuan yang semakin intens terjadi ketika penulis bersama Arif mengikuti rangkaian diskusi tentang sistem perekonomian nasional yang digelar oleh Lembaga Pengkajian MPR RI.
Puncak dari rangkaian itu adalah Simposium Sistem Perekonomian Nasional, yang dihadiri para tokoh penting seperti Mantan Menko Perekonomian Darmin Nasution, Prof. Emil Salim, Prof. Sri Adiningsih, Prof. Sri Edi Swasono, Prof. Chairul Tanjung, dan Dr. Tanri Abeng.
Dalam forum tersebut, Arif menunjukkan kepiawaian intelektualnya dengan menyuarakan pemikiran-pemikiran kritis tentang perlunya keberpihakan negara pada ekonomi rakyat, sekaligus mengajak para pemangku kebijakan untuk memikirkan kembali arah pembangunan nasional agar selaras dengan mandat konstitusi.
Sebagai seorang ekonom strukturalis, Arif berpegang pada keyakinan bahwa kebijakan ekonomi harus berpihak pada mereka yang termarjinalkan.
Ia menolak pendekatan ekonomi yang hanya berfokus pada indikator makro yang sering kali menutupi ketimpangan dan kerentanan di tingkat mikro.
Bagi Arif, data hanyalah pintu masuk untuk memahami realitas sosial dan ekonomi masyarakat. Dari sana, ia mendorong lahirnya solusi konkret bagi kelompok yang paling terdampak oleh kebijakan, termasuk petani, nelayan, hingga pelaku usaha kecil.
Pendekatannya selalu holistik untuk memadukan analisis data, kebijakan, dan dampak sosial, tanpa pernah melupakan dimensi kemanusiaan.
Ekonom Pancasila
Salah satu peristiwa yang membekas adalah ketika Arif menjabat sebagai Staf Khusus Presiden di bidang ekonomi.
Dalam sebuah diskusi mengenai isu perberasan nasional, ia mengundang penulis sebagai narasumber. Arif memperlihatkan keberpihakan nyata kepada pengusaha penggilingan padi kecil yang semakin tertekan oleh dominasi industri besar.
Ia menegaskan bahwa kebijakan pangan nasional tidak boleh sekadar menguntungkan korporasi besar, tetapi juga harus memberi ruang bagi pelaku usaha kecil agar tetap bertahan dan berdaya saing.
Sikap ini mencerminkan komitmennya terhadap ekonomi Pancasila yang menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama.
Pada akhir tahun 2024, pertemuan terakhir terjadi dalam diskusi mengenai ekonomi Pancasila di Yogyakarta atas undangan Prof. Didik Rachbini, Rektor Universitas Paramadina.
Forum tersebut dihadiri sejumlah ekonom terkemuka seperti Prof. Didin Damanhuri, Dr. Umar Juoro, Prof. Revrisond Baswir, dan ekonom muda Prof. Erani Yustika.
Arif bertindak sebagai moderator dan menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menjaga jalannya diskusi. Ketika perdebatan memanas, ia mampu menengahi dengan tenang, memastikan substansi tetap terjaga tanpa mengurangi ruang ekspresi bagi semua peserta.
Kepiawaian ini bukan hanya soal kemampuan intelektual, melainkan juga cerminan integritas dan kecermatannya membaca dinamika persoalan.
Dalam kesempatan itu, di sela istirahat acara, penulis sempat bertanya mengenai rencana Arif setelah tidak lagi menjabat sebagai Staf Khusus Presiden.
Dengan nada ringan, ia menjawab, “Kembali ke habitat lah,” sambil tersenyum. Arif kemudian bercerita bahwa dirinya baru saja diangkat sebagai salah satu Ketua PP Muhammadiyah bidang ekonomi.
Penulis mengusulkan agar Muhammadiyah mengembangkan koperasi pangan, dan ia menyambut ide itu dengan antusias.
Rencana besar itu menjadi bukti bahwa Arif selalu memikirkan langkah konkret untuk memperkuat ekonomi kerakyatan. Sayangnya, rencana tersebut belum sempat diwujudkan.
Pemikir kritis
Kini, Arif Budimanta, sang penjaga gawang ekonomi Pancasila itu, telah pergi, meninggalkan duka mendalam bagi dunia ekonomi Indonesia.
Kehilangannya bukan hanya dirasakan oleh keluarga, para kolega dan sahabat, tetapi juga oleh bangsa yang membutuhkan pemikiran-pemikiran kritis dan solutif seperti miliknya.
Arif telah memberikan teladan tentang bagaimana seorang ekonom dapat memadukan ilmu, keberpihakan, dan integritas.
Ia tidak sekadar menjadi akademisi atau pejabat, melainkan seorang pejuang yang konsisten memperjuangkan amanat konstitusi dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Warisan pemikirannya tentang ekonomi Pancasila menjadi penting untuk terus dihidupkan. Dalam konteks pembangunan Indonesia hari ini, gagasan Arif relevan untuk menjawab tantangan ketimpangan, eksploitasi sumber daya, dan lemahnya perlindungan terhadap kelompok rentan.
Ekonomi Pancasila yang ia perjuangkan menuntut keseimbangan antara efisiensi pasar dan pemerataan kesejahteraan, antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan sosial, serta antara kepentingan individu dan kebersamaan kolektif.
Gagasan ini bukan sekadar wacana, tetapi juga panduan praktis untuk membangun kebijakan publik yang lebih adil dan inklusif.
Bangsa ini tentu membutuhkan lebih banyak pemikir seperti Arif Budimanta, yang tidak hanya memahami teori ekonomi tetapi juga merasakan denyut nadi masyarakat.
Di tengah tantangan globalisasi, transformasi digital, dan perubahan iklim, Indonesia memerlukan keberanian untuk mengutamakan kepentingan rakyat dalam setiap kebijakan ekonomi.
Keteguhan Arif dalam mempertahankan nilai-nilai konstitusi memberi inspirasi bahwa ekonomi yang berkeadilan bukanlah utopia, melainkan sebuah keniscayaan yang dapat diwujudkan melalui komitmen, keberpihakan, dan kerja sama semua pihak.
Selamat jalan, Mas Arif. Pemikiran dan dedikasimu akan terus hidup dalam perjuangan mewujudkan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.
Apa yang telah engkau tanamkan tentang makna ekonomi Pancasila akan selalu menjadi pijakan untuk membangun masa depan bangsa ini.
*) Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES),CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR), Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.