Kudus (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) M Nur Khabsyin mengungkapkan gula petani yang sebelumnya tersimpan lama di gudang segera diserap Danantara sesuai dengan harga yang ditetapkan, setelah sebelumnya audiensi dengan Komisi VI DPR RI.
"Akhirnya kami mendapat titik terang. Karena dalam audiensi DPN APTR dengan Komisi VI DPR RI pada Kamis (21/8) disepakati adanya kepastian bahwa Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang akan membeli gula petani," ujar M Nur, di Kudus, Jawa Tengah, Jumat.
Ia mengungkapkan persoalan harga gula yang jatuh di bawah Harga Patokan Petani (HPP) membuat para petani menjerit. Bahkan, stok gula petani di pabrik gula mencapai 100.000 ton lebih dan berpotensi terus bertambah, karena selain tidak terserap pasar proses giling juga berlangsung hingga November 2025.
Jumlah gula petani sebanyak itu, kata dia, sudah berada di gudang sejak 1,5 bulan lalu, sehingga menjadi prioritas segera diserap melalui Danantara dengan dukungan dana sebesar Rp1,5 triliun untuk pembelian gula petani tebu rakyat.
Tidak hanya menyuarakan aspirasi petani tebu agar pemerintah membantu penyerapan, APTRI juga menyampaikan sejumlah tuntutan, yakni konsistensi larangan impor gula. Pemerintah juga diminta menepati komitmen tidak melakukan impor pada 2025, karena awal tahun tetap dibuka impor 200.000 ton gula.
Tuntutan lainnya, yakni pengawasan ketat gula rafinasi agar tidak bocor ke pasar konsumsi, revisi Permendag No.16/2025 terkait bebasnya impor etanol tanpa syarat yang menjatuhkan harga tetes tebu dari Rp2.500-Rp3.000/kg (2024) menjadi Rp1.000-Rp1.400/kg (2025), jaminan tersedia pupuk tepat waktu agar petani dapat menekan biaya produksi, serta bantuan sarana alat angkut langsir tebu dari lahan basah yang dikelola koperasi petani tebu rakyat di tiap pabrik gula.
Adapun penyebab gula belum terserap pasar, di antaranya karena anjloknya harga gula dan tetes tebu yang kian memukul pendapatan petani. Sedangkan penawaran harga dari pedagang saat lelang berada di bawah Harga Patokan Petani (HPP) yang ditetapkan sebesar Rp14.500 per kilogram.
Sementara pasar gula, kata dia, dibanjiri gula rafinasi, padahal daya beli masyarakat menurun, sehingga gula petani tidak laku.
Selain gula belum terserap, nasib petani juga terpukul akibat anjloknya harga tetes tebu. Bahkan pembeli meminta penurunan lebih jauh dari harga yang telah disepakati. Padahal pada tahun lalu, harga tetes masih berada di kisaran Rp3.000 per kilogram.
Ia menilai jatuhnya harga tetes dipicu oleh terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 16/2025 yang membuka keran impor etanol secara bebas, tanpa persetujuan impor, tanpa kuota, dan tanpa bea masuk, sehingga menuntut untuk direvisi.
"Padahal, produksi etanol dan tetes tebu dalam negeri saat ini surplus bahkan sebagian diekspor. Namun pemerintah justru membebaskan impor etanol. Siapapun bisa impor tanpa syarat, tanpa kuota, tanpa rekomendasi menteri perindustrian. Hal ini jelas membuat harga tetes petani jatuh," ujarnya.
Untuk itulah, APTRI mendesak pemerintah segera turun tangan dengan membeli gula petani sesuai HPP yang berlaku serta menghentikan kebijakan impor etanol bebas. Karena etanol merupakan barang strategis yang seharusnya diawasi ketat, bukan dibebaskan.
Jika persoalan ini tidak segera direspons, APTRI memperingatkan bahwa anjloknya harga gula dan tetes akan mengancam semangat petani menanam tebu, bahkan mengganggu target swasembada gula nasional.
Baca juga: Menko Pangan pastikan serap 1.000 ton gula petani Lumajang
Baca juga: Pemerintah siapkan Rp1,5 triliun untuk serap gula dari petani tebu
Pewarta: Akhmad Nazaruddin
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.