Jakarta (ANTARA) - Setiap tahun, ribuan umat Islam dari Indonesia menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Setelah menjalankan rukun Islam kelima tersebut, tidak sedikit dari mereka yang menyematkan gelar “Haji” atau “Hajjah” di depan nama mereka.
Namun, apakah penyematan gelar tersebut memiliki dasar hukum tertentu dalam Islam, ataukah hanya sebatas tradisi?
Bagi masyarakat Indonesia, gelar “Haji” telah menjadi simbol kebanggaan sekaligus penghormatan terhadap mereka yang telah menempuh perjalanan spiritual yang panjang dan penuh pengorbanan.
Tradisi ini telah mengakar kuat dalam budaya, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, hingga Thailand Selatan.
Namun demikian, tidak semua kalangan memandang perlu penggunaan gelar tersebut. Sebagian berpendapat bahwa esensi ibadah haji adalah penghambaan dan keikhlasan kepada Allah SWT, bukan pengakuan sosial.
Baca juga: 1.617 calon haji lansia tiba di Madinah, terbanyak asal Surabaya
Pandangan agama: Tidak wajib dan bergantung pada niat
Menurut pandangan keagamaan, penyematan gelar “Haji” tidak termasuk kewajiban dalam syariat Islam. Kementerian Agama RI melalui laman resminya menjelaskan bahwa gelar “Haji” atau “Hajjah” merupakan tradisi semata, bukan bagian dari ajaran pokok dalam agama. Meski demikian, selama tidak menyalahi prinsip keikhlasan dalam beribadah, penggunaan gelar tersebut tidak dilarang.
Dalam kegiatan “Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa)” yang digelar oleh Kementerian Agama, filolog Prof. Oman Fathurahman menjelaskan bahwa sejak masa lampau, perjalanan ke Tanah Suci bagi masyarakat Nusantara merupakan perjuangan berat. Jemaah harus menempuh perjalanan laut berbulan-bulan, menghadapi badai, perompak, dan medan yang tidak mudah, sebelum tiba di Mekkah. Maka tidak heran jika masyarakat memberi penghormatan dengan menyematkan gelar “Haji” kepada mereka yang berhasil menunaikannya.
Implikasi sosial dan budaya
Antropolog dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, menyebut bahwa gelar “Haji” juga memiliki nilai sosial tersendiri. Ia mengungkapkan bahwa sejak awal abad ke-20, saat perjalanan haji mulai dimodernisasi dan jumlah jemaah meningkat, gelar “Haji” menjadi simbol status sosial. “Perjalanan haji relatif lebih mudah dan cepat, tetapi gelar haji tetap digunakan dan bahkan semakin populer,” ujarnya.
Dadi menjelaskan bahwa tradisi penyematan gelar tersebut dapat dipandang dari tiga sisi, yakni keagamaan, sosial, dan historis. Haji adalah ibadah yang berat dan membutuhkan pengorbanan besar, sehingga wajar jika masyarakat memandang gelar tersebut sebagai bentuk apresiasi.
Baca juga: Jamaah Haji Ponorogo siap berangkat ke Tanah Suci
Dua pendapat ulama
Dalam konteks hukum Islam, ulama memiliki dua pandangan utama mengenai gelar “Haji”:
1. Gelar haji sebaiknya tidak digunakan
Sebagian ulama berpandangan bahwa penggunaan gelar “Haji” tidak dianjurkan karena tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Mereka yang telah berhaji pada masa itu tidak menyandang gelar tertentu. Ada kekhawatiran bahwa gelar ini dapat memicu riya (pamer) atau kebanggaan yang berlebihan.
Lajnah Daimah, sebuah lembaga fatwa di Arab Saudi, bahkan menyarankan agar penyematan gelar tersebut ditinggalkan demi menjaga keikhlasan beribadah. Mereka menekankan bahwa pahala dari haji yang mabrur akan datang dari Allah SWT, bukan dari pengakuan manusia.
Baca juga: PPIH Surabaya: 2.651 calon haji dan petugas berangkat ke Tanah Suci
2. Gelar haji dibolehkan dalam batas tradisi
Sebaliknya, ulama lain menyatakan bahwa tidak ada larangan eksplisit dalam syariat mengenai penyematan gelar “Haji.” Dalam perspektif budaya (urf), penggunaan gelar ini dibolehkan selama tidak melanggar nilai-nilai keikhlasan.
Beberapa ulama klasik seperti Imam Nawawi dan Imam As-Subki juga tidak menganggap penggunaan gelar semacam itu sebagai hal yang makruh atau terlarang. Selama niatnya tetap lurus, tidak ada masalah jika seseorang dikenal sebagai “Haji” atau “Hajjah.”
Menyikapi penggunaan gelar haji
Lantas, bagaimana sebaiknya masyarakat menyikapi tradisi ini? Pada dasarnya, penyematan gelar “Haji” merupakan pilihan pribadi. Yang paling penting adalah menjaga niat dalam beribadah tetap murni karena Allah SWT. Jika seseorang merasa penyematan gelar tersebut dapat mengganggu keikhlasan, maka lebih baik ditinggalkan.
Namun jika gelar tersebut dimaknai sebagai bentuk penghormatan atau apresiasi tanpa niat pamer, maka penggunaannya sah-sah saja. Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa gelar hanyalah simbol, sedangkan yang utama adalah bagaimana seseorang mengamalkan nilai-nilai haji dalam kehidupan sehari-hari: menjadi pribadi yang lebih baik, rendah hati, dan senantiasa berbuat baik kepada sesama.
Baca juga: Calon haji Banjarmasin kloter pertama keberangkatan haji Kalsel 2025
Baca juga: JCH embarkasi Batam diimbau waspadai cuaca panas selama di Tanah Suci
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025