Anggota DPR tekankan pentingnya keseimbangan kekuatan dalam diplomasi

3 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XI DPR RI Hasanuddin Wahid menekankan pentingnya keseimbangan antara hard power, soft power dan smart power dalam diplomasi Indonesia di panggung politik internasional.

Hasanuddin mengatakan Indonesia secara hard power telah membangun industri pertahanan dan peningkatan alutsista.

"Kita harus kasih kepercayaan penuh kepada institusi militer kita," kata Hasan dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Hal itu disampaikan Hasanuddin dalam acara Deep Talk Indonesia memperingati satu tahun Astacita Presiden Prabowo bidang diplomasi dan pertahanan yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Uama (ISNU) bekerja sama dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Lembaga Kajian Strategis PB IKA PMII.

Diskusi bertajuk Astacita Presiden Prabowo: Sketsa Diplomasi & Pertahanan Nasional Dalam Menghadapi Tatanan Dunia Baru itu berlangsung di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan menghadirkan penulis serta sejumlah pakar di bidangnya.

Secara soft power, kata Hasan, diplomasi politik Presiden Prabowo Subianto memiliki pengalaman panjang dan tahu betul bagaimana memainkan peran di kancah global.

"Pola interaksi yang dimainkan Presiden adalah pengalaman dijajah," ujarnya.

Hasan menyatakan bahwa apa yang telah dilakukan perlu diimbangi dengan pengembangan smart power.

"Saat ini kita belum melakukannya secara terukur dan sistematis. Tanpa tiga hal ini, kita sulit untuk menjadi negara disegani," kata Hasan

Pada kesempatan sama, analis intelijen dan keamanan Ngasiman Djoyonegoro menilai gaya diplomasi yang diperlihatkan Presiden Prabowo Subianto adalah wujud nyata dari politik bebas aktif yang dipegang Indonesia memperjuangkan perdamaian dan ketertiban dunia.

"Presiden berhasil memainkan peran signifikan dan membuat nyata prinsip politik bebas aktif Indonesia," kata Simon, sapaan akrab Ngasiman

Simon menjelaskan bahwa sejak Presiden Prabowo dinyatakan sebagai presiden terpilih pada 2024 lalu, langkahnya terlihat terukur.

Presiden bisa melakukan lawatan dari China dan Amerika dalam satu rangkaian. Indonesia tergabung dalam BRICS+ sekaligus diterima oleh G7. Padahal kedua belah pihak tersebut sedang berseteru.

Simon menyampaikan bahwa setiap negara harus selalu mengukur kekuatannya dengan instrument of power, yaitu Diplomasi, Informasi, Militer, dan Ekonomi (DIME).

Dari sisi informasi, perlahan tapi pasti Indonesia telah memimpin percepatan kualitas dunia digital dalam program-program transformasi digital.

"Tak hanya terkait dengan aplikasi, tetapi juga penguatan SDM dan infrastruktur. Termasuk pengembangan kelembagaan pada TNI, Polri dan intelijen terkait perkembangan dunia siber," tutur Simon.

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN, Prof. Dr. Muhammad Maksum dalam pembukaan diskusi mengungkap bahwa hukum erat kaitannya dengan diplomasi dan politik. Sejumlah kebijakan nasional adalah realisasi dari komitmen global yang dihasilkan berkat diplomasi.

"Hukum tidak bisa dipisahkan dari politik, yang di dalamnya ada diplomasi. Hukum adalah produk politik. Dalam buku yang ditulis oleh Dr. Ngasiman Djoyonegoro ini banyak pelajaran yang dapat diambil," kata Muhammad Maksum.

Sementara itu, Sekretaris Umum ISNU Wardi Taufiq mengungkap bahwa pembahasan oleh pakar adalah salah satu agenda utama yang disasar oleh ISNU di tengah hingar bingar media sosial belakangan ini.

"Di tengah matinya kepakaran, sulit membedakan antara pengetahuan dan opini, antara data dan prasangka. Kita berkewajiban membangun kepakaran tersebut dengan menghidupkan diskusi-diskusi bersama pakar seperti ini," kata Wardi.

Wardi mengatakan Astacita harus menjadi fondasi dan strategi dalam mewujudkan politik bebas aktif Indonesia.

"Kita memang sama-sama punya komitmen untuk berkontribusi dalam kehidupan yang real. Astacita harus kita maknai sebagai strategi epistemik. Dalam konteks diplomasi kita berupaya agar Astacita dalam koridor bebas aktif. Dan forum seperti ini dapat kita jadikan bagian dari upaya mengantisipasi masa depan," kata Wardi.

Di sisi lain, lingkungan strategis yang semakin tidak pasti dan tidak dapat diprediksi membuat para ilmuwan dunia merevisi teorinya.

Abdul Wahid Maktub, pakar bidang diplomasi yang juga dosen pada President University yang didapuk sebagai salah satu pakar dalam diskusi tersebut, menyatakan bahwa di era sekarang ini harus dibaca secara berbeda.

"Tatanan dunia telah berubah, realitas telah berubah, tatanan dunia yang lama sudah tidak relevan lagi untuk diperbincangkan. Samuel P. Huntington mengakui dan merevisi teorinya dari the clash of civilisation menjadi the alliance of civilisation,” ujarnya.

Menurut Abdul Wahid negara-negara dunia banyak sekali melakukan kesalahan kalkulasi geopolitik.

"Israel menyerang Hamas, secara kalkulasi militer itu hanya seminggu selesai. Nyatanya sampai dua tahun," katanya.

Wahid juga menilai Amerika mengalami hal yang sama ketika berhadapan dengan China, yakni salah kalkulasi geopolitik.

Ketidakpastian seperti ini, menurut Stepi Anriani, pakar intelijen dan pertahanan nasional memberikan momentum bagi tumbuh kembangnya implementasi prinsip politik bebas aktif yang dianut oleh Indonesia.

“Dunia kita sedang terbagi dalam great power, super power, dan regional power. Belum pernah dalam sejarahnya, Amerika sebegitu dibencinya dalam pergaulan internasional. Tapi, Presiden Prabowo dianggap sahabat oleh Presiden Trump.

Presiden Prabowo sedang menunjukkan bagaimana politik bebas aktif dimainkan. "Di satu sektor bisa tidak sepakat, tapi di sektor lain kerjasama dengan baik. Misalnya dengan China, Indonesia berseteru di Laut China Selatan, tetapi akur dalam kerja sama ekonomi. Ini yang sedang dimainkan oleh Presiden Prabowo," kata Stepi.

Pakar lainnya, Atep Abdurofiq, pengajar hubungan internasional di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyoroti kapasitas Presiden Prabowo dalam memandu pertahanan nasional dari sisi geoekonomi.

"Posisi sentral Indonesia pemanfaatan SDA sangatlah penting. Bagaimana pengelolaan ini tidak menjadi kutukan. Indonesia sedang on the track dengan memanfaatkan daya tawar critical mineral dan hilirisasi,” kata Atep.

Sementara itu, Dwi Sulaksono, Staf Ahli KSAL Bidang Keamanan Laut mengungkap bahwa militer selalu berupaya untuk melindungi bangsa dan negara dengan segala kekuatan yang ada, karena itu perlu diperkuat. Indonesia telah mempersiapkan pembelian dan pembaruan persenjataan secara konsisten, terutama kapal laut dan membangun integrasi sistem persenjataan TNI.

"Kalau kita mau membangun perdamaian, kita harus siap perang," kata Dwi Laksono.

"Inilah yang sedang dipersiapkan. Dan kita membutuhkan input sebagaimana buku yang ditulis oleh Dr. Ngasiman Djoyonegoro ini," imbuh Dwi Sulaksono.

Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |