Jakarta (ANTARA) - Analis politik senior Boni Hargens menekankan inti dari reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri terletak pada transformasi budaya kerja yang mengakar di seluruh jajaran institusi kepolisian.
"Dari level paling atas hingga level paling bawah, yang notabene sedang dijalankan Kapolri Listyo Sigit saat ini," ujar Boni dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Boni menuturkan reformasi Polri yang sejati tidak bisa hanya mengandalkan perubahan struktural atau reposisi personel di level pimpinan. Karena itu, perubahan budaya tersebut harus mencakup tiga pilar utama yang menjadi fondasi kepolisian modern dan demokratis.
Ia mengatakan pilar pertama, yakni profesionalisme, yang berarti setiap anggota Polri harus memiliki kompetensi teknis yang mumpuni, sikap kerja yang berorientasi pada hasil, dan dedikasi penuh terhadap berbagai tugas penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Kedua, transparansi, yang mengharuskan Polri untuk membuka diri terhadap pengawasan publik dan menjalankan setiap proses dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Kemudian pilar ketiga, lanjut Boni, yaitu akuntabilitas, yang berarti setiap tindakan dan keputusan harus dapat dipertanggungjawabkan secara jelas dengan mekanisme sanksi yang tegas bagi yang melanggar.
Baca juga: Akademisi: Reformasi Polri diorientasikan pada penguatan kultur
Ia pun berharap Komite Percepatan Reformasi Polri untuk bergerak cepat dengan tetap menerapkan prinsip transparansi dalam rangka menciptakan celah berbahaya bagi masuknya intervensi politik.
Menurut ia, apabila proses reformasi tidak dijalankan secara terbuka dan akuntabel, ruang untuk agenda tersembunyi menjadi sangat lebar.
"Reformasi Polri harus dijaga agar tidak dibajak oleh kepentingan politik. Independensi Polri sebagai institusi penegak hukum adalah jaminan demokrasi yang harus dilindungi," ungkapnya.
Transparansi, kata Boni, juga penting dijalankan Komite Percepatan Reformasi Polri agar tidak terjebak dalam siklus analisis yang tidak berujung tanpa menghasilkan aksi konkret karena bekerja tidak cepat dan tidak transparan.
Baca juga: RPI: Polri butuh reformasi budaya, bukan reposisi atau ganti kapolri
Boni menjelaskan hal itu bisa menjadi fenomena paralysis of analysis atau kelumpuhan analisis karena terlalu banyak waktu dihabiskan untuk mengkaji, menganalisis, dan mendiskusikan masalah tanpa pernah sampai pada tahap implementasi solusi.
Iaa mengingatkan potensi tersebut bisa sangat merugikan karena agenda reformasi sebenarnya sudah berjalan progresif di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
Dikhawatirkan hal itu justru menghambat dan membuat reformasi yang sudah bergulir mandek di tengah jalan.
Selain itu, ia menambahkan masyarakat yang telah menanti perubahan nyata bisa semakin kehilangan kepercayaan terhadap komitmen pemerintah dalam mereformasi institusi kepolisian.
"Kepercayaan publik yang terus menurun akan menciptakan jurang pemisah antara masyarakat dengan institusi penegak hukum. Padahal kedua pihak seharusnya bersinergi dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban yang berkeadilan," ucap Boni.
Baca juga: IPW minta Polri hapus praktek "silent blue code"
Baca juga: Komnas HAM harap reformasi Polri dorong pemenuhan hak asasi manusia
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































