Akademisi ungkap giat tambang di Konawe berdampak negatif bagi warga

1 day ago 11

Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo Kendari Yani Taufik bersama SETARA Institute mengungkapkan terdapat perubahan drastis pada fungsi sosial-ekonomi masyarakat lingkar tambang di wilayah Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Melalui keterangan di Jakarta, Kamis, Yani memaparkan komunitas nelayan mengalami sedimentasi dan pencemaran pesisir yang membuat ruang tangkap semakin jauh dan membutuhkan waktu melaut 2-3 hari.

"Di daratan, konversi lahan sawah menurunkan luas sawah produktif dari 5.000 hektare menjadi 1.500 hektare, menyebabkan petani kehilangan sumber penghidupan," katanya.

Yani menyebutkan terdapat pula peningkatan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), iritasi kulit, dan paparan debu merah terjadi khususnya di wilayah sekolah-sekolah dekat izin usaha pertambangan IUP.

Baca juga: KLH menangkan gugatan Rp47,9 miliar atas kerusakan dua tambang nikel

Ia juga mencatat hilangnya tradisi lokal seperti metanduale akibat perubahan struktur sosial yang dipicu aktivitas pertambangan.

"Penelitian menemukan keberadaan pekerja anak, lemahnya penerapan K3, serta ditemukannya kecelakaan kerja fatal yang tidak dilaporkan. Ketimpangan tenaga kerja lokal dan luar sangat nyata, dimana pekerja lokal umumnya hanya mengisi posisi buruh kasar," ujarnya.

Lebih lanjut Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan mengungkapkan hampir seluruh lokasi mencatat pencemaran air dan laut, debu tambang yang ekstrem, sedimentasi yang tidak terkendali, serta peningkatan kasus kesehatan masyarakat.

Ia menyebut sistem pengelolaan limbah seperti sediment pond ditemukan tidak berfungsi, sementara reklamasi pascatambang tidak dilaksanakan secara nyata meskipun ada dalam dokumen perusahaan.

"Hilangnya vegetasi dan terjadinya peningkatan suhu mikro dilaporkan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) serta masyarakat. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Konawe juga menemukan cemaran berbahaya dalam sampel air di sekitar smelter," ungkapnya.

Baca juga: KLHK siapkan area konservasi bagi anoa berkeliaran di tambang Sultra

Karena itu Halili menyampaikan sejumlah rekomendasi. Untuk pemerintah pusat, disarankan penguatan koherensi kebijakan nasional melalui revisi ketentuan dalam UU Minerba yang berpotensi disalahgunakan, sinkronisasi regulasi antar-kementerian, peningkatan transparansi industri ekstraktif melalui pengungkapan informasi minimum, serta penerapan uji tuntas HAM sebagaimana mandat Perpres 60/2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM, yang akan digantikan oleh Perpres Penilaian Kepatuhan HAM pada Pelaku Usaha sebagai basis mandatori Uji Tuntas HAM.

Untuk pemerintah daerah, riset merekomendasikan pemulihan peran pengawasan terpadu antara provinsi, kabupaten, dan masyarakat; peninjauan ulang RTRW dan akselerasi penetapan regulasi terkait Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B); peninjauan izin terhadap pemegang IUP berdasarkan pada aspek responsible mining serta penguatan mekanisme keluhan publik melalui pembentukan kantor pengaduan lokal dan petugas penghubung desa.

"Kemudian, rekomendasi yang ditujukan kepada organisasi masyarakat sipil untuk memperluas pemantauan independen, advokasi dan dokumentasi kasus, dan pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas; serta kepada perguruan tinggi untuk melakukan riset lanjutan terkait dampak sosial-lingkungan dan pengembangan pedoman ilmiah pengendalian sedimentasi, rehabilitasi pesisir, serta penyusunan program PPM (Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat) yang partisipatif," tutur Halili Hasan.

Baca juga: Polda Sultra ungkap pertambangan ilegal di Konawe Selatan

Pewarta: Sean Filo Muhamad
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |