Akademisi: Pemanfaatan AI harus disertai regulasi dan etika

5 days ago 3

Sleman (ANTARA) - Pengajar Fakultas Teknologi Informasi Universitas Aisyiyah Yogyakarta (Unisa) Esi Putri Silmina menilai pentingnya regulasi dan etika dalam pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) agar teknologi ini tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.

"Regulasi terkait penggunaan AI di Indonesia sudah mulai diterapkan namun masih belum mendalam dan luas cakupannya," katanya di Sleman, Yogyakarta, Selasa.

Menurut dia, saat ini beberapa aturan yang ada mengaitkan beberapa aspek etika dengan penggunaan teknologi kecerdasan buatan. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi Nomor 27 tahun 2022 yang mengatur perlindungan data pribadi termasuk dalam konteks penggunaan AI dan media sosial.

"Regulasi ini penting mengingat banyaknya penyalahgunaan data pribadi di media sosial yang semakin rentan terjadi seiring perkembangan teknologi AI," katanya.

Terkait dampak sosial AI, Esi mengakui adanya kekhawatiran masyarakat tentang hilangnya pekerjaan akibat otomasi.

Ia mencontohkan penggunaan robot dalam sektor kesehatan saat pandemi COVID-19, yang membantu tenaga medis menangani pasien tanpa kontak langsung.

"Ketakutan bahwa AI akan menggantikan pekerjaan manusia memang ada dan sudah terlihat di beberapa sektor. Namun menurut saya, AI seharusnya tidak sepenuhnya menggantikan, melainkan membantu manusia dalam bekerja agar lebih mudah dan praktis," katanya.

Esi menegaskan bahwa unsur manusia tetap diperlukan untuk mengendalikan AI, mengingat teknologi ini masih memiliki potensi kesalahan, baik dari sisi teknis maupun "human error".

Baca juga: MenPANRB dorong optimalisasi AI untuk deteksi dan cegah penyelewengan
Baca juga: Kepala Perpusnas tekankan soal redefinisi pustakawan di era AI

Ia juga menyoroti risiko bias dan ketidakadilan dalam AI, jika data yang dimasukkan ke dalam sistem AI mengandung bias atau kesalahan, maka hasil yang dihasilkan juga tidak akan akurat.

"AI adalah kecerdasan buatan yang dirancang untuk bertindak, berpikir, dan berperilaku seperti manusia. Ketika kita memasukkan pengetahuan yang salah, hasilnya juga akan salah," katanya.

Sedangkan untuk melindungi privasi seseorang, menurut dia penggunaan AI untuk mengedit foto atau konten lainnya boleh dilakukan selama tidak merugikan orang lain.

"Namun jika digunakan untuk menjatuhkan atau menyalahgunakan data seseorang, seperti membuat foto palsu yang dapat merusak reputasi, hal tersebut harus dihindari," katanya.

Ia juga mengamati bahwa mahasiswa Teknologi Informasi Unisa Yogyakarta sudah banyak menggunakan AI, terutama untuk mengerjakan tugas.

Ia mengingatkan agar mahasiswa tidak 100 persen bergantung pada jawaban AI seperti "ChatGPT".

"Gunakan AI secara bijak sebagai alat bantu. Mahasiswa harus berperan sebagai verifikator, melakukan 'cross-check' terhadap jawaban AI, misalnya dengan membuka link jurnal atau sumber yang disarankan," katanya.

Ia mengatakan bahwa penggunaan AI untuk memperbaiki bahasa sehari-hari menjadi bahasa formal atau ilmiah dalam penulisan skripsi masih dapat diterima, asalkan mahasiswa tidak sekadar "copy-paste" tanpa pemahaman.

"Manajemen risiko dalam penggunaan AI perlu diwaspadai kedepannya. Yang terpenting, AI harus digunakan untuk membantu, bukan untuk merugikan atau menggantikan manusia sepenuhnya," katanya.

Baca juga: UIN Walisongo-Jiangsu Institute luncurkan Pusat Kecerdasan Buatan
Baca juga: Wamendiktisaintek: SDM unggul jadi kunci hadapi tantangan AI

Pewarta: Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |