Ribuan pasien Gaza terjebak tanpa akses pengobatan di luar negeri

3 hours ago 2

Gaza (ANTARA) - Di dalam tenda kecil yang didirikan di atas puing-puing rumahnya yang hancur, Nour Mohammed Abu Madi (34) kini hampir tak sanggup lagi melawan kanker tulang yang dideritanya. Dia tidak memiliki akses untuk mendapatkan perawatan kemoterapi, tidak dapat berobat ke luar negeri, dan hampir tidak ada harapan bantuan akan tiba tepat waktu.

"Satu setengah tahun yang lalu, saya didiagnosis menderita kanker tulang," tutur Abu Madi kepada Xinhua dengan suara gemetar. "Saya mencoba berobat ke luar negeri, tetapi saya tidak bisa mendapatkan rujukan atau persetujuan, sementara obat yang saya butuhkan tidak ada di sini. Saya hanya mengandalkan obat pereda nyeri, dan kondisi saya semakin memburuk setiap hari", katanya

Abu Madi mengatakan malam-malamnya kini dipenuhi dengan rasa nyeri dan takut yang tak berujung. "Tidak ada obat untuk meredakan penderitaan saya. Saya merasa tubuh saya hancur, dan yang paling menyakitkan adalah saya tidak bisa lagi menjadi ibu seperti dulu. Anak-anak saya membutuhkan saya, tetapi saya bahkan tidak bisa memeluk mereka," katanya.

Di samping ranjangnya, ibunya, Om Mohammed, mengusap keringat dari dahi putrinya dengan kain basah. "Dulu Nour adalah sosok yang kuat," kata sang ibu. "Namun kini dia hancur di hadapan saya. Kami memohon kepada dunia untuk melihatnya sebagai manusia yang layak mendapatkan kesempatan hidup, bukan sebagai angka di daftar tunggu," ujarnya.

Seperti ribuan orang lain, mereka menunggu dalam ketidakpastian karena perlintasan perbatasan Rafah, pintu keluar utama bagi warga Palestina yang berusaha mendapatkan perawatan medis di luar negeri, telah ditutup selama berbulan-bulan.

Di kamp pengungsi al-Nuseirat di Gaza tengah, Hanin al-Mabhouh (34) menghadapi cobaan serupa. Hanya dapat duduk di kursi roda setelah serangan udara Israel menghantam rumahnya pada Juli 2024, dia kehilangan kaki kirinya dan empat putrinya dalam serangan yang sama.

"Saya kala itu sedang menyiapkan makan siang untuk putri-putri saya," kenang al-Mabhouh dengan suara gemetar. "Putri bungsu saya tertawa sambil membantu di dapur. Tiba-tiba, ada suara ledakan yang memekakkan telinga. Api dan debu di mana-mana. Saya terbangun di rumah sakit dengan satu kaki yang hilang dan semua putri saya juga telah tiada," katanya.

"Saya kehilangan segalanya dalam sekejap. Rumah, keluarga, bahkan kemampuan untuk berdiri," ratapnya. "Sekarang saya hidup bergantung pada bantuan yang nyaris tak cukup untuk sekadar makan, apalagi untuk obat-obatan," ujarnya.

Dokter memberitahu al-Mabhouh bahwa dia membutuhkan operasi untuk memasang anggota tubuh buatan dan terapi fisik jangka panjang untuk memulihkan gerakan, tetapi semua rujukan medis telah dibekukan karena penutupan perbatasan. "Saya telah beberapa kali mengajukan berkas untuk mendapatkan pengobatan di luar negeri, tetapi tidak ada yang merespons. Setiap hari yang berlalu, harapan saya semakin pudar."

Kasus Abu Madi dan al-Mabhouh mencerminkan krisis kemanusiaan yang semakin parah. Lebih dari 18.500 pasien dan orang terluka membutuhkan perawatan medis di luar negeri, namun hanya 680 orang yang berhasil meninggalkan Jalur Gaza sejak awal tahun ini, menurut Monir al-Borsh, direktur jenderal otoritas kesehatan Gaza.

"Permohonan evakuasi medis sering ditunda atau ditolak meskipun semua prosedur internasional telah diselesaikan. Ribuan nyawa dapat diselamatkan jika pasien diizinkan keluar, namun banyak yang meninggal saat menunggu," kata al-Borsh kepada Xinhua.

Al-Borsh memperingatkan bahwa sistem kesehatan Gaza berada di ambang kehancuran total, karena kekurangan bahan bakar memaksa mesin X-ray dan generator rumah sakit berhenti beroperasi, sementara tim medis bekerja "di bawah tekanan ekstrem selama berjam-jam, sering kali tanpa istirahat atau pasokan yang memadai.

Proses evakuasi medis untuk pasien Gaza dikoordinasikan melalui mekanisme internasional yang diawasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan lembaga mitra, yang mengatur pemindahan ke rumah sakit di Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, Qatar, Turkiye, dan beberapa negara Uni Eropa, menurut WHO.

Namun, evakuasi medis ini, yang dulu menjadi penyelamat jiwa bagi ribuan kasus kritis, menurun drastis dalam setahun terakhir, terutama sejak Mei, akibat penutupan perbatasan Rafah yang terus berlangsung, kata WHO dalam pernyataan pers yang diterbitkan pada akhir September.

WHO menekankan bahwa gencatan senjata dan jaminan akses yang aman sangat penting untuk memastikan operasi evakuasi terus berjalan dan banyak nyawa dapat diselamatkan, seraya mendesak anggota untuk memperluas koridor kemanusiaan melalui Mesir dan Yordania serta memulihkan rute pemindahan medis ke Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur.

"Setiap hari kami melihat puluhan kasus seperti Nour dan Hanin," tambah al-Borsh. "Beberapa di antaranya bisa diselamatkan jika ditangani tepat waktu, tetapi perbatasan dan waktu yang menentukan nasib mereka."

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |