Akademisi ingatkan tak ada regulasi tentang pekerja lepas dapat THR

4 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti Prof. Aloysius Uwiyono mengingatkan hingga saat ini di Indonesia tak ada regulasi tentang pekerja lepas (informal) mendapat tunjangan hari raya (THR).

"Regulasi ini juga berlaku bagi mitra pengemudi perusahaan transportasi daring berbasis aplikasi," kata Prof. Aloysius dalam siaran pers di Jakarta, Rabu.

Pernyataan ini untuk menanggapi, desakan ribuan pengemudi ojek dan taksi daring serta kurir pada 17 Februari 2025 yang menggelar unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) di Jakarta dengan tuntutan THR dari perusahaan aplikasi transportasi daring.

Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, menyatakan bahwa selama lebih dari 10 tahun, para pengemudi belum pernah menerima THR, meskipun mereka bekerja setiap hari dan menghasilkan pendapatan signifikan bagi perusahaan.

Menurut Prof. Aloysius, secara yuridis, hubungan antara mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi merupakan hubungan kemitraan, bukan hubungan kerja.

Baca juga: Kemenko Polkam upayakan ojol dapat THR Lebaran tahun ini

Hal itu dipertegas oleh pasal 15 ayat (1), Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa hubungan antara perusahaan aplikasi dengan pengemudi adalah hubungan kemitraan.

Dengan demikian secara politis, kewenangan Kementerian Tenaga Kerja hanya terbatas pada hubungan pekerja dengan perusahaan swasta atau BUMN yang disebut hubungan kerja.

Hubungan kemitraan ini berarti mitra pengemudi memiliki keleluasaan dalam menentukan jam kerja, menerima atau menolak pesanan, serta bekerja untuk lebih dari satu platform.

"Ini berbeda dengan hubungan kerja yang mensyaratkan adanya pekerjaan tetap, upah, dan perintah dari pemberi kerja, yang mempekerjakan pekerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain," tegasnya.

Regulasi yang menjadi dasar dalam menentukan apakah suatu hubungan antara perusahaan dan individu termasuk dalam kategori hubungan kerja formal atau bukan, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (perubahan dari UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020).

Baca juga: Menaker lakukan koordinasi lintas K/L terkait pemberian THR ojol

Secara spesifik, definisi hubungan kerja dan unsur-unsurnya dijelaskan dalam pasal 1 ayat (15) UU Ketenagakerjaan, yang menyebutkan: "Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, perintah, dan upah."

Tiga unsur

Kemudian, menilik dari dasar hukum ketenagakerjaan Indonesia di atas, sebuah hubungan kerja harus memenuhi tiga unsur utama, yaitu:

Pertama, pekerjaan, mitra pengemudi memang melakukan pekerjaan berupa transportasi penumpang atau barang, tetapi ini dilakukan secara mandiri tanpa paksaan.

Kedua, perintah, tidak ada perintah kerja dari perusahaan aplikasi, melainkan perintah kerja yang diberikan oleh konsumen dengan melakukan pemesanan melalui aplikasi. Mitra pengemudi memiliki kebebasan penuh dalam menentukan kapan dan bagaimana mereka bekerja.

Ketiga, upah, tidak ada upah tetap dari perusahaan aplikasi, melainkan mitra pengemudi membayarkan sejumlah uang kepada perusahaan aplikasi sebagai biaya sewa aplikasi dan mendapatkan bagi hasil dari tarif yang dibayarkan oleh konsumen berdasarkan perjanjian bagi hasil.

Baca juga: Menaker tekankan pentingnya kepastian hukum untuk driver ojol

Sistem ini lebih menyerupai mekanisme bisnis yang tunduk pada hukum perdata pada umumnya dibandingkan dengan hubungan kerja antara pemberi kerja dan pekerja, yang tunduk pada hukum ketenagakerjaan (perburuhan) yang memiliki ciri khas yaitu adanya upah, pekerjaan, dan perintah.

Karena unsur-unsur ketenagakerjaan ini tidak terpenuhi, maka mitra pengemudi secara yuridis bukan merupakan pekerja yang berhak atas tunjangan dan perlindungan seperti THR dimiliki pekerja tetap sebagai hak sebagaimana diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

Pekerja formal

THR diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, yang mensyaratkan bahwa THR diberikan kepada pekerja yang memiliki hubungan kerja formal dengan perusahaan.

Jika kebijakan ini dipaksakan pada hubungan antara mitra pengemudi dengan perusahaan aplikasi, maka dapat memunculkan permasalahan hukum, karena mitra pengemudi tersebut bukanlah pekerja tetap, sehingga penetapan THR bagi mitra pengemudi ini bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Di Indonesia, regulasi yang ada secara tegas menetapkan hubungan kemitraan, sehingga status mitra pengemudi tidak dapat disamakan dengan pekerja tetap sebagaimana dalam beberapa putusan pengadilan luar negeri.

Baca juga: Ekonom: Beasiswa bagi anak driver bisa jadi pengganti THR ojek daring

Oleh karenanya, dinamika pasar sebaiknya dibiarkan berkembang secara alami agar menciptakan ekosistem kemitraan yang kompetitif dan berkelanjutan.

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |