Jakarta (ANTARA) - Para ahli gizi bersama wali kelas memakai buletin untuk menyosialisasikan pentingnya program makan siang bersama di sekolah beserta menunya kepada orang tua siswa di Jepang.
“Jadi untuk buletin makan siang di sekolah, ini merupakan cara komunikasi bagi guru gizi dengan keluarga,” kata profesor dari Kanagawa Institute of Technology Prof. Naomi Aiba dalam seminar ilmiah di Jakarta, Kamis.
Aiba mengatakan penyebaran buletin itu merupakan langkah yang diambil pihak sekolah karena mengalami kesulitan untuk membangun kolaborasi baik bersama orang tua di rumah.
Buletin itu disebarkan sebanyak satu kali dalam satu bulan, di dalamnya mengandung informasi masif mengenai program makan siang bersama, menu makanan yang disajikan selama satu bulan hingga memo bagi para orang tua.
Baca juga: Tinjau MBG Babel, DPR ingatkan makanan harus bergizi & tepat sasaran
Diharapkan tiap orang tua yang menerima buletin itu dapat mempraktikkan pengalaman makan siang bersama di rumah, serta membicarakan pentingnya makan siang dengan anak-anak.
Aiba menjelaskan pihak sekolah menjadikan program makan siang bersama sebagai salah satu bagian dari kegiatan di kelas. Durasi waktu yang ditetapkan adalah 45 menit dan selama itu anak diajarkan untuk menyiapkan dan membersihkan makanan secara mandiri.
“Jadi kita membagi dua tujuan utama di sekolah. Pertama adalah membentuk kebiasaan makan siang yang baik, kedua adalah melalui makan siang, anak mempelajari hubungan antar manusia,” kata peneliti di Institut Kesehatan dan Gizi Nasional Jepang itu.
Sekolah juga memfokuskan program tersebut menjadi waktu yang menyenangkan bagi anak untuk menambah pengetahuan soal makanan dan belajar memahami arti dari kata ‘lezat’ itu sendiri. Di samping itu, anak diharapkan dapat mencontoh teman lain atau gurunya sehingga kebiasaan pilih-pilih makanan dapat diubah.
Baca juga: Pemerintah pusat pastikan MBG libatkan UMKM
“Pilih-pilih makanan jadi masalah di taman kanak-kanak dan menyebabkan kekhawatiran bagi orang tua. Jadi dengan pengalaman makan siang bersama di sekolah, tanpa sadar anak mencoba makanan yang tidak disukai,” kata Aiba.
Menurut Aiba, dengan menikmati makanan, anak-anak akan mengembangkan minat makannya serta mendorong status gizi anak yang semula kurang jadi lebih baik.
Hal lain yang disampaikan Aiba yakni butuh waktu lama bagi Jepang untuk bisa mempelajari serta membuat regulasi yang tepat bagi anak-anak agar dapat makan dengan baik dan memaksimalkan gizi yang didapat untuk tumbuh kembangnya.
Jepang mulai menjalankan program tersebut sejak era Meiji, tepatnya di Prefektur Yamagata. Dasar dimulainya pun karena pemerintah di masa itu melihat banyak anak-anak dalam keadaan miskin sangat kekurangan gizi. Apalagi saat itu Jepang masih menghadapi peperangan.
“Maka dari itu pemerintah di daerah-daerah mencari cara untuk membantu meningkatkan gizi anak-anak pada saat itu. Jadi tidak sama seperti di Indonesia, kalau di Indonesia secara nasional dilakukan bersama-sama ya,” kata dia.
Baca juga: Anggota DPR minta perjelas mekanisme pembiayaan UMKM di program MBG
Baca juga: Satgas Pamtas RI-RDTL berikan MBG kepada pelajar di perbatasan
Baca juga: Siswa sarankan menu ayam dan kangkung untuk MBG
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025