Jakarta (ANTARA) - Di Indonesia, percakapan mengenai perubahan iklim masih didominasi oleh satu kata: mitigasi.
Kita berbicara tentang penurunan emisi, energi terbarukan, dan teknologi hijau. Semuanya penting, tetapi tidak cukup. Hal yang sering luput dari perhatian adalah dampak yang paling dekat dengan kehidupan jutaan pekerja, khususnya perempuan: bagaimana perubahan iklim mulai merasuki ruang-ruang produksi tempat mereka bekerja setiap hari.
Kita tidak perlu melihat jauh untuk memahami betapa seriusnya persoalan ini. Banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada Desember 2025, yang menyebabkan ratusan korban meninggal dan hilang, menunjukkan bagaimana perubahan iklim yang dipadukan dengan kerusakan lingkungan dapat menghancurkan kehidupan dalam sekejap. Dampaknya terasa di permukiman, pertanian, hingga transportasi.
Krisis serupa, meskipun wujudnya berbeda, juga sedang menyelinap ke tempat yang jarang dibicarakan, yakni ruang-ruang pabrik tempat perempuan Indonesia menopang industri garmen nasional.
Dampak perubahan iklim itu muncul dalam bentuk lain: panas ekstrem di dalam pabrik. Keluhan, seperti suhu di lantai produksi yang bisa mencapai 35–38°C, menyebabkan pekerja perempuan mengalami pusing, kelelahan, mual, dehidrasi, dan hilang konsentrasi. Bahkan, ada yang terpaksa pulang lebih cepat karena tubuh tidak lagi mampu menahan panas yang berkepanjangan. Para manajer pun mengakui bahwa ketika gelombang panas datang, produktivitas menurun signifikan dan absensi meningkat.
Temuan lapangan ini sejalan dengan kajian internasional yang dilakukan oleh Cornell University melalui Higher Ground Report (2023). Studi tersebut menganalisis industri garmen di Bangladesh, Vietnam, dan Kamboja, tiga pusat produksi dunia, dan menyimpulkan bahwa heat stress dapat menurunkan produktivitas 10–30 persen di lini produksi.
Dampak paling berat dialami pekerja perempuan, karena mereka mendominasi proses sewing dan finishing yang sensitif terhadap perubahan suhu. Cornell, bahkan memperingatkan bahwa negara-negara yang gagal beradaptasi, berpotensi mengalami kerugian ekonomi nasional jangka panjang.
Indonesia tidak masuk dalam studi Cornell University, namun, justru di sinilah letak urgensinya. Kondisi pekerja perempuan di sektor garmen kita tidak tercatat dalam diskursus global, padahal tanda-tanda kerentanan itu nyata dan konsisten dengan gambaran ilmiah dalam studi dari Cornell University. Jika negara-negara lain sudah dihitung potensi kerugiannya, Indonesia belum mulai mengukur. Padahal industri padat karya, seperti garmen, menyerap lebih dari 80 persen tenaga kerja perempuan di banyak daerah.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































