785 korban terorisme terima kompensasi dari negara pada 2016-2024

1 month ago 12
“Korban, baik langsung maupun tidak, mengalami penderitaan luka mendalam yang sangat panjang, Oleh sebab itu, negara hadir karena korban adalah tanggung jawab negara,”

Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat sebanyak 785 korban terorisme telah menerima kompensasi dari negara sepanjang tahun 2016 hingga 2024 dengan total nilai mencapai Rp113,30 miliar.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 213 korban di antaranya menerima kompensasi melalui putusan pengadilan, sementara 572 korban lainnya dilayani melalui mekanisme kompensasi nonputusan pengadilan yang merupakan korban terorisme masa lalu.

“Korban, baik langsung maupun tidak, mengalami penderitaan luka mendalam yang sangat panjang, Oleh sebab itu, negara hadir karena korban adalah tanggung jawab negara,” kata Ketua LPSK Achmadi saat peringatan Hari Internasional untuk Penghormatan bagi Korban Terorisme di Jakarta, Kamis.

Pada tahun 2025, jumlah korban yang masih aktif dalam layanan LPSK tercatat sebanyak 30 terlindung (per Agustus) yang mencakup korban Bom Bali I dan II, Bom JW Marriott, Bom Kedutaan Besar Australia, Bom Gereja Oikumene Samarinda, penembakan di perumahan dosen Universitas Tadulako Palu, hingga Bom Gereja Katedral Makassar.

Adapun bentuk layanan meliputi bantuan medis, rehabilitasi psikologis, layanan psikososial, perlindungan fisik, hingga kompensasi.

LPSK juga menaruh perhatian pada korban terorisme yang kasus hukumnya berakhir tanpa ada pelaku yang diadili lantaran telah meninggal dunia atau tidak ditemukan. Dalam kondisi demikian, kompensasi tetap bisa diberikan melalui mekanisme penetapan pengadilan.

Kompensasi mencakup besaran Rp250 juta untuk korban meninggal dunia, Rp210 juta untuk korban luka berat, Rp115 juta untuk luka sedang, dan Rp75 juta untuk luka ringan.

Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Susilaningtias mengatakan dalam proses pemberian kompensasi kepada korban terorisme, LPSK bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI.

Dia menjelaskan BNPT melakukan pendataan melalui upaya jemput bola, menerima laporan dari korban, maupun pertukaran data dengan kepolisian. Setelah ditelaah, BNPT akan menerbitkan surat keterangan korban yang kemudian disampaikan ke LPSK.

“Nanti setelah itu akan ditindaklanjuti oleh LPSK. Kita kontak korban untuk mengajukan permohonan dan sebagainya,” kata dia pada kesempatan yang sama.

LPSK melakukan asesmen bekerja sama dengan Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) dan Perhimpunan Dokter Forensik Medikolegal Indonesia (PDFMI) untuk menentukan kompensasi yang akan diberikan kepada korban.

“Pimpinan LPSK kemudian memutuskan dari hasil asesmen tersebut untuk diberikan kompensasi dan atau jika mereka membutuhkan misalnya medis lanjutan, kita memutuskan juga untuk bantuan medisnya,” jelas dia.

Dalam kesempatan tersebut, LPSK kembali mengingatkan perpanjangan batas waktu pengajuan kompensasi bagi korban terorisme masa lalu, sebagaimana diputus Mahkamah Konstitusi pada Agustus 2024.

Semula, Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membatasi pengajuan kompensasi hanya tiga tahun sejak UU berlaku, yakni berakhir pada 2021.

Namun, batasan yang menutup jalan banyak korban untuk mengajukan haknya ini dihapus oleh Mahkamah, dengan memperpanjang tenggat waktu dari tiga tahun menjadi 10 tahun sejak UU Terorisme berlaku atau berakhir pada 2028.

Menindaklanjuti putusan tersebut, LPSK juga telah menerbitkan Peraturan LPSK Nomor 5 Tahun 2024. Achmadi menyebut pihaknya telah dan akan terus menyosialisasikan perpanjangan batas waktu pengajuan permohonan kompensasi dan bantuan.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |