Jakarta (ANTARA) - "Kalau nama orang-orang yang memenjarakan kepadanya telah hilang sama sekali daripada ingatan manusia, nama Diponegoro akan hidup terus," demikian perkataan Presiden pertama Indonesia Soekarno dalam peringatan 100 tahun wafatnya Diponegoro pada 1955.
Apa yang disampaikan Bung Karno tersebut benar adanya. Hingga kini, Pangeran Diponegoro tak pernah "mati". Namanya terus hidup dalam ingatan kolektif bangsa, diabadikan menjadi nama jalan, gedung hingga lembaga pendidikan.
Pangeran Diponegoro yang merupakan pemimpin Perang Jawa itu, terlahir dengan nama kecil Bendara Raden Mas Mustahar pada 11 November 1985. Terlahir di lingkungan Keraton Yogyakarta, Diponegoro merupakan anak dari Sri Sultan Hamengkubuwono III dan ibunya bernama Mangkarawati, selir Sri Sultan Hamengkubuwono yang berasal dari Pacitan.
Perang Jawa atau yang dikenal dengan Perang Diponegoro yang terjadi 200 tahun lalu, dikenal sebagai peristiwa heroik. Perang itu menjadi bukti perlawanan kaum pribumi terhadap kesewenang-wenangan kaum kolonial.
Dengan menggunakan taktik gerilya yang memanfaatkan medan pegunungan dan hutan Jawa, Pangeran Diponegoro berhasil membuat pasukan Belanda kesulitan menangkapnya. Dukungan dari tokoh seperti Kyai Mojo, Sentot Prawirodirdjo, dan Kerto Pengalasan pun memperkuat perlawanan pada perang yang berlangsung pada 1825 hingga 1830 itu.
Perang Jawa tidak hanya meninggalkan jejak sejarah yang signifikan dalam perjuangan rakyat Indonesia, tetapi juga memberikan dampak besar bagi pemerintah kolonial Belanda, baik dari segi ekonomi, militer, maupun politik.
Perang Jawa mendapatkan dukungan kuat dari masyarakat. Tidak hanya di wilayah meletusnya perang yakni di Tegalreo, tetapi juga di luar Jawa.
Strategi "Benteng Stelsel" dengan membangun benteng-benteng, yang diterapkan Belanda pada 1827 mulai melemahkan pasukan Diponegoro, terutama setelah banyak pengikutnya ditangkap atau gugur.
Belanda kemudian mengadakan perundingan dengan Diponegoro pada 1830, tetapi perundingan ini berakhir dengan pengkhianatan Letnan Gubernur Jenderal Henrik Merkus de Kock. Pangeran Diponegoro ditangkap pada 28 Maret 1830 di Magelang dan diasingkan ke Manado, kemudian ke Makassar, hingga meninggal dunia pada 1855.
Baca juga: Perpusnas: Babad Diponegoro ajarkan kejujuran bagi generasi muda
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.